JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi (MK) belum menemukan motif penyuapan yang diduga dilakukan terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Sebab, antara pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta pihak yang disangka memberi suap merupakan dua pihak yang berbeda.
Juru Bicara MK Fajar Laksono menyampaikan, MK enggan berspekulasi karena pengungkapan motif suap tersebut menjadi ranah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kami enggak tahu sampai ke sana. Itu ranahnya KPK untuk mengetahui motif dan kepentingannya apa," ujar Fajar di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (27/1/2017).
(Baca: KPK: Patrialis Janjikan Uji Materi UU Nomor 41 Tahun 2014 Dikabulkan MK)
Dikutip dari laman http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, disebutkan bahwa permohonan diajukan oleh Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, H Asnaw, dan Rachmat Pambudy.
Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 36 C ayat 1, Pasal 36 C ayat 3, Pasal 36 D ayat 1, Pasal 36 E ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014.
Fajar menjelaskan, UU tersebut mengatur perihal impor daging dan produk olahannya. Dalam UU tersebut, Indonesia memberlakukan dua sistem untuk melakukan impor, yakni berdasarkan zona negara dan zona wilayah dalam suatu negara.
(Baca: Patrialis Akbar Diduga Menerima Hadiah Rp 2,15 Miliar)
Pada sistem negara, proses impor bisa dilakukan apabila seluruh bagian negara (wilayah) telah dinyatakan bebas dari penyakit ternak dan produk olahannya.
Sementara itu, untuk sistem zona wilayah dalam satu negara, impor daging tetap bisa dilakukan meskipun wilayah lain dalam satu negara tidak dinyatakan bebas dari penyakit ternak dan produk olahannya.
"Ketentuan soal zonasi ini yang membuat pemohon merasa keberatan," kata Fajar.
Pemohon meminta agar ketentuan "zona dalam suatu negara" seperti yang diberlakukan saat ini bertentangan dengan UUD 1945.
Fajar melanjutkan, pemohon khawatir jika negara boleh melakukan impor dari satu negara yang seluruh bagiannya tidak dianggap bebas dari penyakit ternak, maka ternak-ternak miliknya, atau ternak yang ada di Indonesia, akan tertular penyakit yang dibawa dari negara pengimpor.
"Makanya mereka menginginkan sistemnya negara saja. Kalau seluruh negara dinyatakan clear, di situ Indonesia boleh mengimpor," kata Fajar.