JAKARTA, KOMPAS.com - Juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengatakan pemberantasan korupsi memerlukan peradilan yang bersih. KY mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindak aparatur peradilan yang korup.
"Membersihkan korupsi harus berada di peradilan yang benar-benar bersih," kata Farid melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Sabtu (2/7/2016).
Pernyataan itu dilontarkan Farid menanggapi kasus penangkapan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Santoso oleh KPK dalam operasi tangkap tangan pada Kamis (30/6/2016).
(Baca: Peneliti ICW Minta Ketua MA Mundur karena Tak Tegas Berantas Mafia Peradilan)
Farid kemudian menganologikan korupsi ibarat kotoran yang hanya bisa dibersihkan dengan sapu yang bersih. "Sapu kotor justru membuat kondisi makin kotor, jadi semakin terpuruk," ujar Farid.
Oleh sebab itu KY kemudian berharap supaya pimpinan Mahkamah Agung (MA) dapat memimpin upaya bersih-bersih dan pembenahan supaya kasus serupa tidak kembali berulang. MA juga mesti mencari jalan keluar agar tak ada lagi praktek suap yang dilakukan aparatur peradilan.
"MA harus mampu meyakinkan dirinya dan publik bahwa perbuatan merendahkan profesi dan lembaga peradilan adalah perbuatan tercela dan juga biang pengkhianatan yang harus dicari jalan ke luarnya," pungkas Farid.
Sebelumnya pada jumpa pers di Gedung MA pada Kamis (30/6), Ketua MA Hatta Ali menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memberikan toleransi bagi seluruh aparat pengadilan yang terbukti melakukan pelanggaran dan menyelewengkan wewenang dan jabatan.
Lebih lanjut, Hatta juga mengatakan bahwa pihaknya berterima kasih karena kritik dan tanggapan masyarakat yang kemudian membuat MA semakin waspada dalam melaksanakan tugas.
Seperti diketahui, KPK menangkap Santoso dan seorang staf pengacara pada Kamis (30/6/2016). Keesokan harinya, Santoso ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Selain Santoso, seorang pengacara bernama Raoul Adhitya Wiranatakusumah serta staf Raoul, Ahmad Yani, juga menjadi tersangka.
Diduga Raoul memberi uang suap kepada Santoso melalui Yani. KPK menemukan uang senilai 25.000 dolar dan 3.000 dolar dalam sebuah amplop dari tangan Santoso yang ditangkap ketika sedang menumpang ojek.
(Baca: KY Ungkap Banyak Kasus yang Libatkan Panitera Jadi Mafia Peradilan)
Sebagai tersangka penerima suap, Santoso dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 11Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara RAW dan AY, yang diduga pemberi suap, disangkakan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Penangkapan panitera di PN Jakarta Pusat sudah dua kali terjadi. Sebelumnya, pada 20 April lalu, KPK menangkap Edy Nasution, panitera PN Jakarta Pusat, terkait suap pengurusan sengketa perdata anak perusahaan Grup Lippo.
Dari Januari hingga Juni 2016, KPK 10 kali melakukan OTT. Lima di antaranya melibatkan aparatur pengadilan, dari hakim, panitera, hingga pejabat MA.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.