JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan skenario untuk menghadapi dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau "British Exit" (Brexit).
"Kami sudah menyiapkan beberapa pikiran-pikiran mengenai dampak Brexit pada aspek ekonomi, politik maupun keamanan," kata Luhut usai menghadiri peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2016 di Jakarta, Minggu (26/6/2016).
Kendati demikian, Luhut tak merinci langkah apa saja yang telah disiapkan pemerintah tersebut. Ia hanya menyebut, keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak akan memberikan dampak besar terhadap Indonesia.
"Kami perhatikan dengan cermat karena bagaimana pun ini keputusan dampaknya masih akan kami lihat dalam beberapa waktu ke depan," ucap Luhut.
"Mungkin secara langsung ke Indonesia tidak banyak, namun kita harus lebih hati-hati melihat ekonomi kita," kata dia.
Inggris telah memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa (UE) setelah 43 tahun dalam referendum bersejarah.
Rakyat Inggris yang memilih 'keluar' tercatat sebanyak 52 persen dengan perolehan suara sebanyak 17.410.742 orang.
Sedangkan yang memilih 'bergabung' ada 48 persen dengan perolehan suara sebanyak 16.141.241 orang.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo menyatakan, keputusan Inggris untuk "bercerai" dari Uni Eropa mengejutkan dunia. Keputusan tersebut, kata Agus, bisa berimplikasi dalam jangka panjang.
"Kajian kami di tahun 2030 pertumbuhan ekonomi Inggris bisa menurun sampai 7 persen," kata Agus di kantornya di Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Sebagai dampak referendum Inggris tersebut, nilai tukar mata uang poundsterling pun merosot secara dramatis.
Agus mengungkapkan, bank sentral memantau nilai tukar poundsterling melemah 10 hingga 11 persen dan volatilitasnya pun mencapai 11 persen.
Di Indonesia, dampak Brexit dapat dirasakan dengan melemahnya nilai tukar rupiah sebesar 1 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Meski demikian, Agus meyakini dampak Brexit tidak terlalu signifikan terhadap Indonesia.
"Karena sekarang ekspor dan impor Indonesia dengan Inggris belum terlalu besar. Kami lihat dampaknya tidak terlalu besar, jadi masih bisa kami jaga," jelas Agus.