MK dalam putusannya mengubah frasa Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal tersebut menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Namun MK mengubah 'Mahkamah Kehormatan Dewan' menjadi 'Presiden'.
Namun, lanjut Lalola, Pasal 245 Ayat (3) UU MD3 tidak dihapus oleh MK, memberikan pengecualian terhadap keharusan adanya izin pemeriksaan. Pasal 245 Ayat (3) berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Berdasarkan Pasal 245 Ayat (3) UU MD3 di atas maka KPK, Kejaksaan dan Kepolisian tetap dapat menangani perkara korupsi (sebagai tindak pidana khusus) yang melibatkan anggota DPR, termasuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) tanpa harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden," ucapnya.
KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian sebaiknya mengabaikan putusan MK soal izin pemeriksaan sepanjang institusi tersebut menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota dewan (DPR,DPD, MPR, DPRD).
Dengan tidak berlakunya izin pemeriksaan terhadap anggota dewan yang terlibat korupsi, justru penanganan perkara korupsi politik harus jadi prioritas bagi semua institusi penegak hukum.