Petitum permohonan uji materi atas Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini mengenai pengguguran kewajiban untuk memperoleh izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan bagi penegak hukum dalam melakukan proses hukum terhadap anggota legislatif. Namun, MK justru memunculkan norma baru dalam proses pemeriksaan anggota legislatif, yaitu adanya persetujuan tertulis dari Presiden.
"Hal ini tidak dimohonkan dalam petitum pemohon, tetapi MK justru memutus demikian," kata Peneliti Hukum ICW, Lalola Ester, Minggu (27/9/2015).
Permohonan ini dikabulkan oleh MK karena izin tersebut dianggap bertentangan dengan asas equality before the law.
Mahkamah mempertimbangkan pendapat tertulis dari KPK yang menyatakan bahwa persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan.
"Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi," ucap Lalola.
Keempat, Putusan pengujian pasal tersebut bertentangan dengan kewenangan MK. Menurut hukum, MK memiliki wewenang sebagai negative legislator. Ketika MK dalam putusannya memberikan izin kepada presiden, MK justru menambah norma dan menjadi positive legislator, wewenang yang bertentangan dengan kewenangannya.
Kelima, putusan MK menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat proses hukum. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak adanya batasan jangka waktu permohonan izin tersebut.
"Artinya, jika Presiden RI tidak mengeluarkan izin tertulis, proses hukum terhadap anggota legislatif yang sudah menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan," ucapnya.
Keenam, putusan MK ini akan menimbulkan ketegangan dan kegaduhan politik baru. Sebagai pengemban fungsi eksekutif, pemberlakuan norma ini justru dapat membuat presiden RI menggunakan wewenang tersebut untuk melindungi koalisinya dan menyerang oposisinya.
Ketujuh, putusan MK ini menimbulkan diskriminasi di hadapan hukum. Karena keputusan ini, anggota legislatif cenderung lebih sulit untuk dihukum dan menjalankan proses hukum, meskipun telah diduga melakukan tindak pidana.
"Betul, anggota legislatif memiliki hak imunitas. Namun, hal tersebut tidak dimaksudkan demikian karena yang dimaksud hak imunitas adalah imunitas terhadap ucapan, bukan pada imunitas perbuatan pidana," ucapnya.
Kedelapan, Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan pada November 2014, tetapi diputus pada 22 September 2015. RPH dilaksanakan pada 20 November 2014, tetapi putusannya baru dibacakan hampir satu tahun kemudian, yaitu pada 22 September 2015.
"Waktu yang terpaut jauh ini menjadi menarik untuk disikapi secara kristis karena ini berarti tidak semua hakim MK yang sudah melakukan RPH atas permohonan pengujian UU MD3 turut memutus pengujian permohonan tersebut," ucap Lalola.