Oleh: Radhar Panca Dahana
JAKARTA, KOMPAS - Kadang praktik demokrasi di satu negara atau juga di sebuah organisasi terlihat membingungkan, bahkan menggelikan.
Termasuk praktik demokrasi di Indonesia terkait pemilu kepala daerah kita belakangan ini. Semua pihak, hingga otoritas tertinggi di kalangan pemerintah, merasa galau, cemas, dan dibuat repot hanya karena ada calon (pasangan) tunggal di sebuah daerah pemilihan. Demokrasi yang katanya mateng dan tulen itu sekonyong seperti remaja atau akil balik yang merasa cemas akan eksistensi atau kepribadiannya hanya karena tidak berhasil memproduksi lebih dari satu bakal calon pemimpin dalam sebuah pemilu.
Kecemasan itu terjadi, antara lain, disebabkan makna dan "hakikat" demokrasi lenyap atau batal karena tidak terjadi apa yang disebut "pemilihan" (election), salah satu terma atau mantra paling alakazam dalam demokrasi karena tidak ada pilihan dalam "pemilihan", alias rakyat beraklamasi untuk hanya memilih satu calon.
Padahal, apa salahnya dengan aklamasi, yang dalam arti lain adalah mufakat? Bisa jadi mufakat terjadi karena secara tidak langsung semua sepakat bila calan tunggal itu adalah calon pemimpin terbaik dari yang terbaik dari yang ada. Dan semua orang tahu itu, sehingga tak ada gunanya ada calon kedua atau ketiga, jika mereka hanya jadi gula-gula pemanis atau sekadar memenuhi rukun demokrasi.
Manipulasi demokrasi
Lalu mengapa demokrasi, dan para pemeluk teguh yang imannya taqlid, jadi senewen dan cemas? Apakah karena permufakatan—entah dengan proses apa pun—dianggap tradisional karena berbasis adat lalu dianggap tidak demokratis? Apakah ketidaksediaan pesaing potensial untuk mencalonkan diri tidak dianggap sebagai pengakuan sekaligus penerimaan ikhlas terhadap calon tunggal dan malah justru menampakkan satu kedewasaan dan kearifan (parpol) dalam bentuk tersendiri?
Maka, sesungguhnya, tak ada alasan untuk menunda pilkada. Ketiadaan calon jamak dalam sebuah pilkada dapat dianggap sebagai konsensus atau mufakat dari seluruh pemilik kepentingan, bahkan rakyat sebagian besar bahwa calon tunggal memang pantas untuk memerintah di periode depan. Tentu dengan banyak alasan yang publik mengetahuinya sendiri. Ini adalah sebuah kearifan sehingga tak perlu ada defensi agresif yang menyatakan itu penjegalan.
Sebenarnya, jujur atau tidak, kita harus mengakui terma politik paling membahana sepanjang sejarah manusia ini—"demokrasi"—adalah sebuah makna yang tidak tetap, relatif, bahkan labil. Buku teori atau otoritas sehebat apa pun, termasuk negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, tidak akan mampu dan berhasil mengerangkeng istilah tersebut dalam sebuah makna yang tetap dan tunggal. Demokrasi bukanlah sebuah makna yang selesai. Ia tetap pantha rei, seperti air yang terus berubah karena tak henti mengalir bersama waktu, sebagaimana orang atau adab bahari memahami dan mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari.