Kondisi itu membuat banyak bangsa dan negara, yang dapat Anda baca dan buktikan sendiri, memiliki klaim yang sama sebagai ”negara demokratis” walau dalam praktiknya sangatlah berbeda, bahkan acap bertentangan dengan segala teori tentang idea (l) dari demokrasi itu sendiri. Bukankah negara-negara macam Korea Utara atau Kongo hingga Sahara Barat, yang belum diakui itu, menggunakan kata ”demokratik” sebagai bagian dari nama resminya?
Bila kemudian kata "demokrasi" tinggal berfungsi sekadar simbol, kamuflase, atau bahkan manipulasi dari sebuah praksis politik sebuah negara atau organisasi, sesungguhnya istilah itu jadi mubazir—jika tak bisa bilang menyesatkan—untuk digunakan. Karena apa pun istilah atau sistem teknis-teoretis yang menulangpunggunginya, tidaklah bermakna secara hakiki atau sekurangnya secara pragmatis bagi publik secara keseluruhan, bagi kepentingan publik (rakyat).
Dari pemahaman sederhana ini, saya tidak menganjurkan kita menghapus "demokrasi", baik secara simbolik maupun dalam hakikat atau fungsi pragmatisnya. Karena dalam kultur global seperti saat ini, anjuran seperti itu sudah menjadi semacam "bunuh diri politik" yang dapat merembet menjadi "kematian sosial dan ekonomis" karena kuatnya kaum resisten dan pemeluk teguh demokrasi yang taqlid.
Namun, secara sederhana saya hanya mencoba mengembalikan cara (sistem) kita berpolitik, berbangsa dan bernegara pada tujuan paling dasar untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia (rakyat): bonum commune communitatis (kesejahteraan rakyat secara umum), bukan bonum commune hominis (kesejahteraan untuk kepentingan individual saja). Sebagaimana setidaknya tersurat dalam kitab babon klasik, Politeia-nya Plato, yang diterjemahkan dan diartikan sama dengan "Republik".
Republik Pancasila
Sesungguhnya demokrasi dan republik punya pemaknaan hampir sama: keduanya mengacu dan mengarahkan pada kepentingan rakyat (demos dan public). Perbedaan mendasarnya di mana demos atau rakyat dipasangkan dengan kratos atau kekuasaan, sementara puublica atau rakyat/umum dipadankan dengan rees atau urusan/kepentingan. Maka, bila demokrasi berkonotasi pada kekuasaan dan kedaulatan yang dapat menjamin terwujudnya kepentingan/kesejahteraan publik, maka republik sebuah bentuk (apa pun) pemerintahan yang mengurus persoalan/kepentingan publik yang sama.
Tentu saja, kedua istilah itu kemudian berkembang dengan nasib dan jalan hidupnya sendiri-sendiri, termasuk dengan bias dan deviasinya masing-masing. Namun sebelum kata demokrasi begitu luas digunakan, predikat republik digunakan sebagai nama resmi oleh sebagian besar negara di dunia, bahkan hingga hari ini. Penekanan modernnya kini bukan lagi pada kekuasaan atau kedaulatan rakyat dalam demokrasi, tapi representasi dari kekuasaan itu yang dipegang oleh sekelompok orang (elite) yang menyebut dirinya pemerintah sebagai pengatur dan pewujud bonum commune communitatis tadi.