Bila polusi makna dan kontaminasi kepentingan sempit (sektarian) sudah membunuh makna asali dari demokrasi, kata republik relatif lebih steril. Indonesia, dalam posisi ini, pada hemat saya cukup ideal bila tetap menggunakan nama resmi sebagaimana disepakati para pendiri dan konstitusi, Republik Indonesia. Tanpa imbuhan atau embel ”demokrasi” sama sekali, jika itu hanya artifisialisasi, apalagi manipulasi pada rakyat.
Pemerintahan republik dalam bentuknya apa pun selaiknya lebih terobsesi untuk mewujudkan rees-puublica ketimbang memproduksi imagi-imagi institusional berlabel demokratis. Dengan pengertian ini, sebagaimana terjadi di Tiongkok, Vietnam, Iran, Turki, bahkan Inggris, terbuka peluang menggunakan dasar-dasar filosofis, kosmologis, hingga ideologis lain dalam penyelenggaraan pemerintahan itu.
Mengapa tidak kemudian jika dasar-dasar itu bersifat lokal, misalnya ia berdasar pada Pancasila, yang tidak harus disinkretiskan dengan demokrasi modern (karena memang beda). Hanya bagi sebuah pemerintahan, visi Pancasila dimulai secara idealistis terbalik mulai dari sila kelima, berurut ke sila pertama. Artinya, dalam hati dan kepala seluruh aparatus pemerintahan bekerja untuk mewujudkan sila kelima itu, dengan menggunakan landasan kerja (teknis) sila keempat hingga yang paling fundamental (spiritual): sila kelima.
Sementara publik menjalankan kehidupan sehari-harinya mengikuti urutan sila sesuai dengan susunan yang dibuat oleh para pendiri bangsa. Hidup dan bekerja dengan landasan utama sila pertama untuk mencapai (dibantu oleh pemerintah) kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Maka, sebuah republik pun akan tercipta bukan hanya dalam idealisasi, tapi juga dalam praksis juga obyektifnya.
Tidaklah terlalu muluk atau mengejutkan bila kita bisa menggunakan nama baru "Republik Pancasila Indonesia". Sebagai sebuah kode bagi dunia bahwa kita sebagai bangsa dan sebuah peradaban memiliki cara kita sendiri, yang diciptakan, dihimpun dan dikembangkan selama ribuan tahun, untuk mencapai rees-puublica. Sebagai identitas pembeda, sekaligus menolak homogenisasi kultural yang terjadi global saat ini.
Radhar Panca Dahana
Budayawan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Demokrasi yang Cemas".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.