Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Runtuhnya Benteng Moral Terakhir

Kompas.com - 18/03/2015, 23:29 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

KOMPAS.com — Beberapa hari lalu saya bertemu dengan seorang pemuda dari salah satu masyarakat adat di sebuah tempat di Jakarta. Panggil saja dia Si Polan. Kepada Polan, saya bilang ingin mengeksplorasi beberapa hal mengenai suku Si Polan untuk saya tuangkan ke dalam karya esai, puisi, dan musik.

Sebelum bertemu, otak dan hati saya penuh dengan beragam pertanyaan yang berawal dari kekaguman lantaran suku tersebut oleh media selama ini dianggap mampu menjaga nilai-nilai tradisi yang adiluhung.

Sepengetahuan saya selama ini, suku Si Polan menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku ini antara lain: tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang pu'un atau ketua adat), larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri, serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Si Polan sendiri mengaku sebagai bagian dari suku yang telah keluar dari adat karena para leluhurnya telah melanggar adat. Namun, tak jelas benar alasannya, apakah memang kakek moyangnya yang berkeinginan untuk keluar dari tradisi atau karena menikah dengan anggota masyarakat kebanyakan.

Itulah sebabnya, keluarga Si Polan lebih terbuka menerima perubahan sosial. Komunitas suku Si Polan telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik. Demikian juga proses pembangunan rumah penduduk, prosesnya telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dan lainnya, yang sebelumnya dilarang oleh adat.

Hal yang sama berlaku juga dalam berpakaian, menggunakan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang, ada yang menggunakan pakaian modern, seperti kaus oblong dan celana jins, seperti yang dikenakan Si Polan pada malam itu.

Polan pun bercerita bahwa keluarganya juga menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring dan gelas, baik kaca maupun plastik. Sebagian warganya juga telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang Muslim, dalam jumlah cukup signifikan.

"Kalau saya masih memeluk Sunda Wiwitan," jawab Polan tentang agama yang dianutnya.

Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha dan Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin: lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah, kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya sehingga tiang penyangga rumah sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang tidak melakukan tawar-menawar.

Polan tak seperti kebanyakan orang di sukunya yang biasa mengenakan busana khas suku itu. Polan malam itu dan juga malam-malam sebelumnya adalah pemuda modern dengan sandangan anak muda masa kini, dengan gadget yang tak pernah lepas dari tangannya.

Maklumlah, Polan adalah seorang saudagar kerajinan tangan yang diproduksi oleh sukunya. Hampir tiap pekan, Si Polan datang ke Jakarta dengan menumpang kereta.

Ada sekitar 200 perajin tenun yang menyetorkan produksinya ke Polan. Pemuda ini juga cucu dari seorang kakek yang saya kenal 15 tahun lalu sebagai penjual kerajinan. Polan bilang, sang kakek kini sudah 80 tahun usianya. Bisnis kerajinan sekarang diteruskan oleh dirinya. Seperti sang kakek, Polan juga mewarisi keramahan dan kelembutannya sehingga para konsumen pun senang membeli barang dagangannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com