Polan pun bersumpah bahwa apa yang diungkap adalah benar adanya.
Hmmm... mendadak perut saya mual. Melihat reputasi kakek Polan yang telah saya kenal, dan cara bertutur Si Polan yang begitu menggetarkan, saya pun dibuatnya tertegun. Sebagai jurnalis, saya memang masih menyisakan ruang untuk tidak percaya begitu saja agar saya tetap bisa menjaga obyektivitas.
Ah... tetapi Polan bersedia mengajak saya ke kampungnya dan juga ke Jalan Lontar untuk membuktikan sendiri kebenaran ceritanya.
Hmmm... semoga saja cerita Polan tak sepenuhnya benar. Jika cerita Polan benar, maka robohlah sudah benteng moral yang dimiliki bangsa ini.
Entah kepada siapa lagi kita akan menyandarkan pertanyaan dan harapan akan moral dan kebenaran. Setelah lembaga-lembaga penegakan hukum, pilar-pilar demokrasi, dan bahkan lembaga-lembaga keagamaan digerogoti oleh para koruptor dan pembual, kini para penjaga moral yang selama ini dipegang oleh masyarakat adat pun sudah tergoda oleh rayuan dunia.
"Bapak hitung sendiri. Dari Jalan Lontar, mereka beli madu seharga antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000, mereka jual hingga Rp 80.000 per botolnya. Berapa rupiah yang mereka dapat jika dalam seminggu mereka mampu menjual hingga seribu botol?" kata Si Polan.
Lalu saya pun menjawab, saya malas menghitung untung yang bukan milik saya.
Kami pun tertawa, sekadar melupakan kegetiran yang baru kami lewati. Saya pun mengantar Polan ke stasiun kereta untuk mengejar kereta api terakhir menuju ke barat.
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.