Setelah bertukar kabar, sampailah pertanyaan saya pada situasi terbaru yang sedang berlangsung di daerahnya.
"Sudah berubah, sudah berubah," ujar Si Polan sambil tercenung.
"Maksudmu?" Saya keheranan.
Maka mulailah Si Polan bercerita tentang sukunya, tentang kampungnya, dan juga tentang tipu muslihat yang sedang berlangsung.
"Suku kami sudah tidak seperti dulu lagi. Nilai-nilai kejujuran sudah hampir punah di kampung kami. Cap lugu yang kami sandang sebagai sebuah suku sudah dimanfaatkan oleh beberapa warga kami untuk melakukan penipuan."
"Penipuan?" Saya mulai bergetar oleh pernyataannya. Kekaguman saya terhadap suku Si Polan yang terkenal dengan keluguan dan kejujurannya mulai berguncang. Masyarakat adat yang selama ini saya anggap sebagai benteng moral terakhir bangsa ini pada malam itu roboh satu demi satu pilar-pilarnya.
Muka Polan tampak sedih, tetapi dia mengaku harus bercerita kepada saya agar bebannya tak kelewat berat untuk dia sangga sendiri.
"Bayangkanlah," ujar Polan melanjutkan cerita, "Kami yang selama ini dianggap sebagai suku yang memegang erat tradisi, kini sudah mulai terkikis. Kami sudah menipu diri kami dan juga masyarakat luas," tutur Polan geram.
"Maksudmu?" saya kian penasaran.
"Anda sering berpapasan dengan suku kami kan? Suka melihat mereka membawa botol-botol madu kan?"
"Lantas?"
"Inilah salah satu biang dari penipuan yang akhirnya merusak tatanan masyarakat kami."
Polan pun bercerita bahwa madu-madu yang ada di permukiman sukunya, ataupun yang dibawa oleh kawan-kawan sesukunya, adalah madu palsu. "Itu yang mereka bawa asli madu sintetis, enggak ada setetes pun madunya."
Polan makin bersemangat. Dia bilang, madu-madu itu diproduksi di Jalan Lontar, Jakarta Pusat. Madu palsu itu menurut Polan dibuat dari bahan-bahan berbahaya, seperti boraks, alkohol, tawas, dan pengawet. Sebagian madu palsu itu dibawa ke permukiman Si Polan untuk dijual kepada para turis yang datang ke sukunya, sebagian lagi didistribusikan kepada kawan-kawan Polan yang datang ke Jakarta untuk dijual ke perkantoran-perkantoran.
"Kamu serius?"