JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Zulkarnain menilai, Komisaris Jenderal Budi Gunawan salah memahami gugatan praperadilan yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut dia, praperadilan dapat diajukan ke pengadilan negeri hanya untuk kasus salah tangkap tersangka.
"Praperadilan sesungguhnya sesuai hukum acara penetapan orang menjadi tersangka di penyidikan itu, bukan domain praperadilan. Praperadilan itu untuk salah tangkap atau salah tahan," ujar Zulkarnain saat dihubungi, Rabu (21/1/2015).
Zulkarnain mengatakan, jika dalam penyidikan ada kesalahan intansi hukum dalam menangkap orang, barulah orang tersebut dapat mengajukan praperadilan. Saat ini, KPK baru menetapkan Budi sebagai tersangka dan belum menahannya. Menurut dia, Budi Gunawan bukan korban salah tangkap sehingga tidak seharusnya mengajukan praperadilan.
"Kepada tersangka diberikan hak untuk didampingi penasihat hukum kalau misalnya di dalam penyidikan ada salah tangkap, salah tahan. Itulah praperadilan namanya," kata Zulkarnain.
Sebelumnya, Kepala Divisi Pembinaan dan Hukum (Kadiv Binkum) Polri Inspektur Jenderal (Pol) Moechgiarto menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke PN Jakarta Selatan. Ia mengatakan bahwa yang mengajukan gugatan tersebut bukan dirinya, melainkan pengacara Budi Gunawan.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Ronny F Sompie mengatakan, gugatan praperadilan tersebut sebagai sikap kritis Budi atas kasus yang menjeratnya. Gugatan itu diajukan setelah Budi melakukan diskusi dan meminta masukan kepada ahli-ahli hukum sebelum mengajukan gugatan praperadilan.
Rabu pagi, tim pengacara Budi Gunawan melaporkan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ke Kejagung. Salah satu pengacara Budi, Razman Arif Nasution, menganggap dua pimpinan KPK tersebut melakukan proses pembiaran kasus yang menjerat pejabat tinggi Polri itu. Menurut dia, KPK terlalu lama menetapkan Budi sebagai tersangka, padahal penyelidikan sudah dilakukan sejak 2014.
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Eggi Sudjana, menyebut keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penetapan tersangka Budi Gunawan sebagai keputusan yang cacat hukum. Menurut Eggi, keputusan yang dibacakan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto telah melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam undang-undang tersebut, pimpinan KPK berjumlah lima orang. (Baca: Eggi Sudjana: Keputusan KPK Terkait Budi Gunawan Cacat Hukum)
KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. KPK menjerat Budi dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Budi terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup jika terbukti melanggar pasal-pasal itu.
Budi Gunawan sedianya akan dilantik menjadi kepala Polri pengganti Jenderal Pol Sutarman setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pelantikan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.