Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2014 menunjukkan, jumlah kasus konflik agraria tahun ini meningkat tajam jika dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula jumlah luasan dan korban yang berjatuhan menjadi wajah buruk pemerintahan masa lalu yang harus mendapatkan sentuhan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin menyebutkan, sepanjang 2014, KPA mencatat sedikitnya terjadi 472 konflik agraria dengan luas tanah sengketa mencapai 2.860.977,07 hektar dan melibatkan sebanyak 105.887 kepala keluarga di seluruh Indonesia. Jumlah kasus itu jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 369 kasus dan 198 kasus pada tahun 2012.
"Ironisnya, konflik agraria tertinggi tahun ini terjadi pada proyek infrastruktur. Sisanya konflik akibat perluasan areal perkebunan, kehutanan, pertanian, dan pertambangan," ujar Iwan, dalam jumpa pers, di Jakarta, Selasa (23/12/2014).
Menurut Iwan, meningkatnya kasus-kasus itu karena pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta aturan turunannya. Hal itu, kata dia, mengakibatkan perampasan tanah rakyat atas alasan pembangunan.
Iwan mengungkapkan, meski data menunjukkan jumlah konflik agraria tertinggi ada di sektor infrastruktur yang merupakan proyek pemerintah, benturan yang terjadi di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Jumlah konflik antara warga versus perusahaan swasta paling banyak, kemudian disusul warga versus pemerintah serta warga versus perusahaan negara.
Proyek infrastruktur diketahui dikerjakan oleh swasta sebagai kontraktor. Pada posisi ini, menurut Iwan, pemerintah lepas tangan. Swasta dibiarkan "berperang" melawan warga.
Sementara itu, lanjut Iwan, jumlah korban konflik agraria sama ironisnya dengan jumlah kasusnya. Sepanjang 2014, korban tewas mencapai 19 orang, tertembak 17 orang, luka akibat dianiaya 110 orang dan petani serta aktivis yang dikriminalisasikan berjumlah 256 orang.
Petani dan aktivis yang dikriminalisasi rata-rata dikenakan Pasal 160 KUHP, 170 KUHP, 310 KUHP, dan 406 KUHP tentang penghasutan dan perusakan aset.
KPA juga menyoroti peran TNI dan Polri yang cenderung dijadikan tameng ketika berhadapan dengan warga. Aksi represif TNI dan Polri, menurut dia, kerap memperuncing konflik yang terjadi di lapangan. Bahkan, Iwan menilai, TNI dan Polri selalu memosisikan diri sebagai kepanjangan tangan dari elite pemerintahan atau perusahaan swasta.
"Maaf jika saya mengatakan bahwa mereka itu seperti aparat bayaran," ujar Iwan.
Jokowi harus radikal
Anggota DPR RI asal Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, menilai, Jokowi harus melakukan pembenahan sistem dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
"Kemarin, Presiden sudah memulai dengan memberikan grasi terhadap Eva Bande. Tapi, itu saja belum cukup. Presiden harus lebih radikal lagi soal penyelesaian konflik agraria," ujar dia, pada kesempatan yang sama.
Pertama, lanjut Masinton, Presiden harus membentuk lembaga ad hoc khusus untuk penyelesaian konflik agraria. Lembaga tersebut harus berada di bawah kendali Presiden langsung agar penyelesaiannya tidak berat ke pengusaha, tetapi juga kepada warga.