"Penyelesaian sengketa tata usaha negara dan perselisihan hasil pilkada itu sebetulnya bisa direkonstruksi atau ditata ulang dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan pemilu," kata Ida, seusai seminar "Outlook 2015 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu" di Gedung STIA Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, Kamis (18/12/2014).
Prinsip keadilan pemilu, lanjut Ida, antara lain harus mempertimbangkan kepastian prosedur, efektivitas waktu penyelesaian sengketa serta efisiensi biaya peradilan.
Prosedur penyelesaian sengketa berbelit-belit
Dari segi prosedur penyelesaian sengketa, khususnya sengketa tata usaha negara (TUN), ada sejumlah lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, yakni mulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tinggi TUN, dan terakhir Mahkamah Agung.
Akan tetapi, prosedur penyelesaian sengketa tersebut dinilai terlalu berbelit-belit sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit dalam prosesnya. Apalagi, dengan wacana pilkada serentak, karakteristik sengketa dari masing-masing daerah akan beragam.
"Prosedur (penyelesaian sengketa) memang sudah jelas, namun waktunya itu yang berbelit-belit. Sehingga KPU menginginkan apakah bisa misalnya itu dirancang ulang dengan ketentuan pengadilan tinggi itu menjadi lembaga peradilan terakhir setelah seluruh proses administrasi sengketa ditempuh," papar Ida.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, proses penyelesaian sengketa bisa memakan waktu hingga tiga bulan sejak pendaftaran pengaduan atau gugatan ke Bawaslu hingga banding ke MA.
"Sengketa TUN itu memerlukan waktu 64 hari, dan itu hari kerja, yang disengketakan terkait TUN itu adalah semua hasil keputusan yang dikeluarkan KPU. Maka KPU harus menunggu sampai dengan berakhirnya sengketa TUN tersebut, baru kemudian dilakukan tahapan selanjutnya," katanya.
Selain sengketa TUN, terdapat pula sengketa hasil pilkada yang memakan waktu 41 hari kerja. Dengan demikian, jika pemungutan suara pilkada serentak digelar 16 November 2015, maka daerah yang memiliki sengketa hasil pilkada akan memiliki kepala daerah terpilih pada 2016.
"KPU bisa menemukan tanggal pemungutan suara serentak itu di 16 Desember 2015, kemudian rekapitulasi pilkadanya itu di akhir Desember 2015 kalau tanpa sengketa hasil. Kalau ada daerah yang bersengketa hasil pilkadanya, itu pasti akan melampaui 2015," ujar Ida.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.