JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Etika Politik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno, menilai kasus dugaan korupsi yang menimpa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, sebagai suatu malapetaka atau musibah bagi bangsa Indonesia.
"Tentu kasus Akil itu suatu malapetaka menurut saya karena MK itu agak kurang dihormati," kata Magnis dalam diskusi bertajuk "Mengarahkan Haluan Politik Indonesia Pascareformasi" di Maarif Institute, Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Menurut Magnis, orang-orang yang telah memilih Akil, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), patut dicurigai memiliki kepentingan saat memilih Akil sebagai Hakim Konstitusi. "Apakah mereka tidak tahu? Menurut saya, semua yang terlibat pengangkatan dia harus juga dicurigai itu," ucap pria yang akrab disapa Romo Magnis itu.
Di tempat yang sama, pengamat hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan bahwa MK tidak lagi menjadi lembaga yang dipercaya sejak kasus dugaan korupsi pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah yang menjerat Akil. "Sebelumnya ada tiga institusi yang dipercaya, yaitu KPK, (Pengadilan) Tipikor Jakarta, dan MK sebelum kasus Akil itu," kata Refly.
Akil didakwa menerima hadiah atau janji terkait pengurusan 15 sengketa pilkada. Uang itu diduga untuk memengaruhi Akil dalam memutus permohonan keberatan sengketa pilkada. Dalam Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, misalnya, Akil diduga menerima uang suap sebesar Rp 3 miliar. Adapun pada sengketa Pilkada Lebak, Banten, Akil diduga menerima suap sebanyak Rp 1 miliar.
Akil juga didakwa menerima suap pada sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, dengan jumlah Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS; Pilkada Kota Palembang (Rp 19,9 miliar); Pilkada Lampung Selatan (Rp 500 juta); Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (hampir Rp 3 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan Pilkada Banten (Rp 7,5 miliar).
Selain itu, Akil juga didakwa menerima janji pemberian Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi jawa Timur. Mantan politikus Partai Golkar itu juga disebut meminta Rp 125 juta kepada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. Akil pun didakwa melakukan pencucian uang sejak masih menjabat anggota DPR hingga menjadi Ketua MK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.