JAKARTA, KOMPAS.com
- Sosialisasi Pemilihan Umum 2014 mulai gencar dilakukan setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan daftar pemilih tetap pada 4 November. Semua warga negara diingatkan betapa pentingnya berpartisipasi dalam pemilu. Wayang pun dijadikan sarana untuk sosialisasi pemilu.

Halaman kantor KPU di Jakarta, Senin (4/11/2013) malam, disulap menjadi panggung hiburan. Ratusan orang memadati panggung yang menyuguhkan berbagai acara hiburan. Acara utama yang disuguhkan adalah pagelaran wayang kampung sebelah.

Sebagian besar yang menempati kursi di bawah tenda adalah para pemimpin partai politik, anggota KPU pusat dan provinsi, serta anggota badan pengawas pemilu. Mereka baru selesai mengikuti rapat pleno terbuka penetapan daftar pemilih tetap (DPT) yang berlangsung alot di kantor KPU. Sebelum pagelaran wayang dimulai, hadirin dihibur dengan penampilan penyanyi dangdut Juwita Bahar dan komedian Cak Lontong.

Pagelaran wayang kampung sebelah dengan lakon ”Mawas Diri Menakar Berani” baru dimulai sekitar pukul 22.30. Lakon wayang, yang mengocok perut dan membuat para penonton tertawa, berkisah tentang pemilihan lurah di Kelurahan Bangun Jiwo. Dalam kisah itu diselipkan pesan-pesan tentang pentingnya mengikuti Pemilu 2014. ”Satu suara akan menentukan nasib kita bersama,” kata Pak Le Karyo, salah satu lakon dalam wayang. Pak Le Karyo juga mengingatkan agar tidak salah memilih pemimpin. Dalam memilih pemimpin, yang harus dilihat adalah kapasitas, kualitas, dan kapabilitas dari calon pemimpin itu.

Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, sosialisasi pemilu melalui sarana kesenian dan kebudayaan harus mulai gencar dilakukan. Upaya itu dilakukan untuk mengajak warga negara berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. ”Kami coba menempuh cara-cara kesenian untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang pemilu kepada masyarakat. Kesenian itu tentu saja disesuaikan dengan komunitasnya. Untuk masyarakat Jawa, wayang bisa menjadi pilihan untuk sosialisasi pemilu,” tutur Husni.

Menurut Husni, wayang zaman sekarang sudah mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga wayang tidak hanya cocok untuk kalangan tua, tetapi juga cocok untuk kalangan muda. Misalnya, wayang kampung sebelah dipentaskan menggunakan campuran bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris.

Husni berharap KPU di tingkat provinsi juga kreatif mencari cara-cara menyosialisasikan Pemilu 2014 sesuai dengan kesenian dan kebudayaan setempat. ”Kami berharap, setiap tahapan pemilu, masyarakat dapat berpartisipasi secara maksimal,” ujarnya.

Partisipasi menurun

Husni mengatakan, pemilu di Indonesia menghadapi tantangan serius karena tingkat partisipasi pemilih cenderung turun, mulai dari Pemilu 1999, 2004, hingga 2009. ”Pada Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih sebesar 71 persen,” ujarnya.

Menurut catatan Kompas (9 Juli 2012), saat pemilu pertama pada era reformasi digelar tahun 1999, antusiasme pemilih cukup tinggi, yakni 92,7 persen. Dalam perkembangannya, tingkat partisipasi cenderung menurun. Pada Pemilu 2004, angkanya mencapai 84,07 persen. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 dikhawatirkan akan menurun jika melihat partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah. ”Partisipasi pemilih dalam pemilukada ada yang di atas 80 persen, tetapi ada pula yang di bawah 50 persen. Angka rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilukada adalah 55-65 persen,” kata Husni.

Untuk itu, KPU harus mencari cara-cara yang efektif guna meyakinkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. ”Kalau masyarakat abai, dengan alasan tidak ada calon pemimpin yang baik, maka yang terpilih adalah orang-orang yang tidak baik,” kata Husni.

Pengajar sosiologi politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito, mengatakan, partisipasi masyarakat dalam pemilu cenderung turun karena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik. Menurut Arie, sosialisasi KPU untuk mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tidak akan efektif jika parpol tidak bisa melahirkan kepercayaan dan memperbaiki performanya.

Dengan menganalogikan pemilu sebagai pesta pernikahan, Arie menyebut KPU sebagai event organizer dan para calon anggota legislatif sebagai pengantinnya. “Meski acara sudah disiapkan dan undangan sudah disebar, yang diundang tetap saja tidak datang kalau memang tidak suka kepada pengantinnya,” tuturnya.

Menurut Arie, masyarakat tidak hanya memerlukan pendidikan pemilih, tetapi lebih memerlukan pendidikan politik. Maka, KPU juga harus berkomitmen untuk mengedukasi rakyat agar dapat menilai para calon anggota legislatif secara tepat. (Jumarto Yulianus)