JAKARTA, KOMPAS.com
Pemimpin bangsa tidak hanya sebagai seorang politisi, tetapi juga seorang negarawan. Sifat kepemimpinan yang demikian ditemukan dalam sosok presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau akrab dipanggil Gus Dur.

”Sebagai seorang pemimpin, Gus Dur itu lengkap,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat menjadi pembicara dalam seminar bertema ”Role Model Pemimpin dan Guru Bangsa” serta bedah buku Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita karya Muhammad AS Hikam di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (2/11/2013).

Acara tersebut diselenggarakan Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Program Pendidikan Singkat Angkatan XVII dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Turut hadir sebagai pembicara Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) Letnan Jenderal (Purn) TB Silalahi, serta pengusaha Chairul Tanjung. Selain itu, hadir juga Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas Agum Gumelar dan pengarang Muhammad AS Hikam.

Mahfud, yang menjabat menteri pada era pemerintahan Gus Dur, mengatakan, buku yang ditulis Hikam memberikan gambaran mengenai sosok Gus Dur. Di dalam diri Gus Dur tampak jelas sikap sebagai seorang politisi dan negarawan. ”Politisi itu maunya menang-menangan, sementara negarawan maunya benar-benaran,” ujarnya.

Gus Dur menunjukkan sikap sebagai politisi, kenang Mahfud, saat dia menghadapi desakan sejumlah elite politik pada tahun 2001 agar kabinet dirombak. Kabinet lalu dibentuk lagi dengan campur tangan sejumlah elite politik tersebut. ”Imbalannya”, Gus Dur tidak akan dijatuhkan dari jabatannya sebagai presiden. ”Sebagai politisi, Gus Dur tidak mau kalah karena menilai perombakan itu inkonstitusional,” katanya.

Namun, Gus Dur juga bisa tampil sebagai seorang negarawan. Hal itu ditunjukkan Gus Dur menjelang Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Saat itu, ada kelompok yang menjamin Gus Dur tidak akan diturunkan sebagai presiden asalkan dia mau mengubah dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.

”Gus Dur menolak keras permintaan itu. Dia menyatakan lebih baik mundur daripada harus mengubah Pancasila sebagai dasar negara,” tutur Mahfud.

TB Silalahi menyebut Gus Dur sebagai seorang tokoh nasional sekaligus negarawan. Meski bukan orang yang sempurna, Gus Dur masih tepat disebut sebagai bapak bangsa. ”Gus Dur adalah pemimpin yang melindungi semua golongan masyarakat, etnis, ras, dan agama,” katanya.

Hal yang sama dikatakan Chairul Tanjung. Meski mengaku tidak terlalu mengenal Gus Dur, dia mengatakan, ”Saya percaya Tuhan memberi pemimpin sesuai dengan zamannya. Gus Dur diberi peran yang luar biasa dalam mengedepankan pluralisme dan multikulturalisme.”

Apa yang dilakukan Gus Dur saat menjadi presiden amat bermanfaat bagi perjalanan bangsa Indonesia hingga sekarang.

Menghargai pemimpin

Hikam mengatakan sengaja menulis buku tentang Gus Dur agar bangsa Indonesia belajar menghargai pemimpinnya. Dia mengumpulkan berbagai tulisan mengenai Gus Dur dan membuat perpustakaannya. ”Hal semacam ini dilakukan oleh bangsa-bangsa yang beradab,” ujarnya.

Mengutip pernyataan Franz Magnis-Suseno dalam kata pengantar bukunya, Hikam mengatakan, tidak banyak pemimpin di Indonesia yang memiliki jiwa kenegarawanan. Salah satu pemimpin yang memiliki jiwa kenegaraan adalah Gus Dur.

Pemimpin ke depan, menurut Magnis-Suseno, harus memiliki visi, semangat, dan keberanian. Pemimpin juga harus memiliki integritas dan bisa memimpin secara demokratis.

”Jangan memilih pemimpin yang emosional, tetapi yang ikhlas. Jangan berharap pada orang yang suka mencari pencitraan, tetapi lihat apa yang dilakukannya. Kita perlu seorang pemimpin yang berani tidak populer,” ujar Magnis-Suseno.

Agum Gumelar dalam sambutannya mengatakan, Gus Dur adalah pemimpin yang berjiwa besar. ”Mari kita ambil kelebihannya dan kita tinggalkan kekurangannya. Untuk pemimpin 2014, harus bisa mengambil apa yang baik dari pemimpin sebelumnya,” katanya. (JUM)