Oleh Agustinus Yunastiawan
KOMPAS.com — Sabtu (18/6/2011) kemarin, bangsa Indonesia kembali berduka. Bukan karena bencana alam yang rutin menyambangi tanah Zamrud Khatulistiwa ini atau karena ada tokoh besar negara ini meninggal, tapi karena Ruyati binti Satubi, seorang tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi, yang dieksekusi pancung.
Lebih tragis lagi, pihak Arab Saudi tidak memberitahukan mengenai kapan pelaksanaan eksekusi tersebut. Akibatnya, Pemerintah Indonesia mengecam hal tersebut dan berniat memanggil duta besar Arab Saudi untuk mengklarifikasi hal ini.
Tanggapan masyarakat kita sangat beragam dan yang paling sering muncul di sebuah forum dunia maya adalah hujatan terhadap Arab Saudi. Namun, penulis merasa tidak ada gunanya mengutuk Arab Saudi sekarang. Toh, akar permasalahan Ruyati dan ribuan buruh migran asal Indonesia lainnya tidak berada di jazirah Arab atau di Semenanjung Melayu, tapi di sini, di rumah kita sendiri.
Ada dua kegagalan Pemerintah Indonesia dalam kasus ini. Yang pertama adalah kegagalan diplomasi. Kesalahan memang tidak mutlak ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah sudah berupaya untuk melobi Pemerintah Arab Saudi agar memberi pengampunan kepada Ruyati. Apalagi, tindakan yang dilakukan oleh Ruyati ini merupakan bagian dari upaya pembelaan diri.
Namun, tampaknya kasus ini agak terpinggirkan, mengingat ketika eksekusi terhadap Ruyati sudah dilaksanakan, barulah kita ribut sendiri. Ke depannya, mungkin kasus-kasus semacam ini perlu mendapat pengawalan ekstra dari pemerintah.
Ada banyak masalah yang harus ditangani oleh pemerintah, pun dalam urusan luar negeri. Namun, kita juga tidak berharap kasus Ruyati ini terulang lagi.
Emansipasi pedesaan
Kegagalan kedua adalah kegagalan dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. Untuk permasalahan ini, penulis mencoba melihat dari sudut pandang perencanaan kota dan wilayah. Pola pembangunan yang terlalu bersandarkan pada growth pole theory membuat pertumbuhan hanya berpusat pada beberapa simpul pertumbuhan. Teori growth pole ini memandang pertumbuhan ekonomi memang harus dipusatkan demi efisiensi.
Setelah itu, daerah di sekitarnya diharapkan memperoleh rembesan (spill over) dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Namun, pada praktiknya, justru pusat-pusat pertumbuhan tersebut menghisap sumber daya yang luar biasa besar dari kawasan penyangga perkotaan (pedesaan dan periurban).