KOMPAS - Pada saat membacakan naskah pidatonya, Presiden Joko Widodo menghentikan suara sejenak, lalu melanjutkan dengan mengatakan, "... amnesti pajak." Suara Presiden sedikit menurun saat mengucapkan kata-kata itu. Lebih pelan terdengar daripada kalimat sebelumnya.
Sesaat sebelum peristiwa itu, Presiden menggoyangkan kepala dua kali, dan pada goyangan kedua Presiden melihat hadirin yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, Selasa (16/8/2016), di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Kata "amnesti pajak" itu merupakan kata pamungkas dari kalimat utuh yang berbunyi, "Selain itu, dengan dukungan penuh dari DPR, pemerintah melakukan terobosan dengan mengeluarkan aturan tentang amnesti pajak."
Peristiwa itu terjadi saat Presiden menyampaikan pidato kenegaraan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-71 RI.
Merujuk pada video pidato kenegaraan yang dirilis Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden, adegan itu terjadi pada detik ke 2.29 hingga 2.30.
Intonasi yang lemah juga terdapat pada kata "diharapkan" saat Presiden mengucapkan, "Diharapkan basis penerimaan pajak menjadi semakin luas guna mempercepat pembangunan dan meningkatkan daya saing nasional."
Kalimat itu disampaikan setelah Presiden menjelaskan mengenai pengampunan pajak.
Praktisi forensik kebohongan Handoko Gani menilai ritme dan intonasi suara Presiden berbeda ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Lebih mengalun dan lebih pelan," kata Handoko, Minggu (21/8), di Jakarta.
Menurut Handoko, mengacu pada analisis kebohongan melalui suara (voice stress analysis/VSA), ada hal-hal yang patut dikonfirmasi. VSA merupakan salah satu cara mendeteksi kejujuran ekspresi seseorang dengan menganalisis emosi suara.
Kalimat atau kata yang lemah, dipengaruhi sirkulasi darah dan akhirnya memengaruhi intensitas, frekuensi, tarikan, harmoni, maupun getaran suara.
Menurut Handoko, ada beberapa dugaan yang muncul dari kenyataan itu, seperti Presiden tidak sepenuhnya yakin bahwa dukungan DPR akan bersifat permanen.
"Kemungkinan lain, tingkat keyakinan Presiden tidak mencapai 100 persen terkait besar penerimaan dari program pengampunan pajak atau ada kekhawatiran dengan efektivitas eksekusi program itu," katanya.
Jika benar dugaan itu, sejalan dengan masih minimnya penerimaan negara dari program pengampunan pajak. Hingga Minggu (21/8) pukul 18.45, pendapatan negara dari uang tebusan program pengampunan pajak baru Rp 863 miliar. Nilai itu jauh di bawah target hingga Rp 165 triliun saat program ini berakhir.