JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum menegaskan, Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah dan DPR.
Kendati demikian, KPU memiliki sejumlah usulan untuk mengoptimalkan revisi UU tersebut.
Hingga kini, pembahasan revisi UU Pilkada belum rampung. Ada sejumlah pasal yang dianggap krusial, sehingga Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta agar target penyelesaian dapat diundur.
"Kami membatasi diri kami terkait pandangan-pandangan yang menyangkut kontestasi. Meskipun, KPU bisa saja berpendapat," kata anggota KPU Juri Ardiantoro di Kompleks Parlemen, Selasa (26/4/2016).
Dari pembahasan yang tengah dilakukan, KPU memberikan sejumlah catatan.
Terkait boleh atau tidaknya calon yang berasal dari TNI/Polri dan PNS mencalonkan diri, menurut dia, seharusnya perlu ada sinkronisasi antara Revisi UU Pilkada dengan UU lainnya.
Sebab, dikhawatirkan akan terjadi persoalan saat tahap verifikasi calon apabila terdapat pemahaman berbeda antara KPU dengan Bawaslu.
"Kalau tidak ditegaskan, maka menjadi tidak umum. Misalnya, dinyatakan diatur langsung dalam UU ASN (Aparatur Sipil Negara), UU itu menjadi jalan keluar," kata dia.
Juri juga meminta agar KPU diperkuat dalam hal verifikasi. Menurut dia, selama ini calon kepala daerah seringkali memanipulasi dukungan.
Ia mencontohkan, foto kopi KTP yang diperoleh calon sebagai syarat dukungan, tidak diperoleh langsung dari masyarakat.
KTP tersebut diperoleh dari tempat lain seperti perusahaan leasing, Puskesmas maupun Samsat.
KPU, menurut dia, tidak memiliki wewenang untuk melacak darimana seorang calon memperoleh KTP mereka.
Sehingga, KPU tidak akan mengetahui apakan mereka yang memberikan dukungan tersebut benar-benar memberikan dukungan kepada calon atau tidak.
"Aplikasi yang kita punya itu bukan untuk verifikasi faktual, tetapi hanya untuk verifikasi kegandaan KTP," ujarnya.
Persoalan selanjutnya yakni terkait politik uang dan anggaran pilkada. Sejauh ini, jika terjadi politik uang, maka Bawaslu hanya dapat memberikan rekomendasi apakah dapat dilanjutkan atau tidak.
Sedangkan, terkait anggaran, kata dia, tak sedikit yang dipolitisasi calon petahana. Sehingga pada akhirnya, anggaran daerah yang ada dipolitisasi oleh calon kepala daerah.
"Statusnya ini (anggaran) perlu diluruskan dalam UU. Antara Mendagri dan Kemenkeu masih belum satu suara. Kelusitan KPU ketika harus buat kebijakan turunannya," kata dia.