Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LBH Pers: Implementasi Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE Tidak Manusiawi

Kompas.com - 18/02/2016, 19:21 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin, mengatakan bahwa implementasi pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Dalam beberapa kasus yang ia tangani, penegak hukum tidak mampu memberikan alat bukti yang proporsional di persidangan.

Polisi dan jaksa pun seringkali tidak bisa membuktikan tersangka menggunakan alat bukti tersebut saat melakukan pencemaran nama baik.

"Masalah yang pertama soal digital evidence. Alat bukti yang dihadirkan ke persidangan itu seringkali hanya screenshot, laptop dan hard disk. Penggunaannya pun tidak bisa dibuktikan," ujar Asep, saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (18/2/2016).

Masalah kedua, menurut dia, penegak hukum tidak pernah melakukan forensik digital. Seharusnya ada penelusuran melalui IP address untuk membuktikan siapa yang telah melakukan pencemaran nama baik melalui internet.

Bahkan dalam beberapa kasus yang ia tangani, polisi dan jaksa tidak mampu membuktikan apakah kliennya sebagai pemilik asli dari sebuah akun Twitter yang diduga melakukan pencemaran nama baik.

"Ada beberapa kasus yang kita dampingi dan menang, karena memang aparat penegak hukum tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan digital forensic," ucapnya.

Selain itu, Asep menjelaskan, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE berpotensi melanggar hak asasi seseorang dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diatur dalan pasal 28 UUD 1945.

Ia mencontohkan kasus yang menimpa Florence Sihombing pada 2014 lalu. Florence dilaporkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Yogyakarta setelah statusnya di media sosial dianggap menghina warga Yogyakarta.

Setelah putusan pengadilan, Florence tidak bisa melanjutkan studinya sebagai notaris karena syarat seseorang menjadi notaris tidak pernah terlibat tindak pidana dengan ancaman penjara di atas 5 tahun.

"Ini kan masalah. Hanya karena menjelek-jelekkan orang di media sosial, dia tidak bisa menjadi notaris. Yang ia terima tidak sepadan dengan apa yang ia lakukan," tutur Asep.

Menurut Asep, DPR harus segera menghapus ketentuan pasal 27 ayat 3 melalui rencana revisi UU ITE. Dengan menghapus pasal 27 ayat 3 tidak berarti orang bisa semena-mena melakukan pencemaran nama baik.

"Ada UU lain yang mengatur itu dan lebih manusiawi. Masih ada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pidana yang bisa digunakan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com