JAKARTA, KOMPAS.com — Pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi, Indriyanto Seno Adji, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi soal izin memeriksa anggota legislatif tidak berlaku pada KPK. Menurut Indriyanto, putusan MK tersebut hanya terikat pada tindak pidana umum.
"Korupsi sebagai tindak pidana khusus, jadi (putusan MK) sama sekali tidak berdampak pada KPK," ujar Indriyanto melalui pesan singkat, Rabu (23/9/2015).
Dalam putusan pada sidang yang berlangsung Selasa (22/9/2015) kemarin, MK menyatakan bahwa penegak hukum harus mendapatkan izin dari presiden sebelum memeriksa anggota DPR. Putusan ini menggugurkan aturan yang menyebutkan bahwa pemberian izin pemeriksaan diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). (Baca MK: Pemeriksaan Anggota Parlemen Harus Melalui Persetujuan Presiden)
Indriyanto menyatakan bahwa Undang-Undang KPK bersifat lex specialis sehingga korupsi termasuk tindak pidana khusus di luar putusan MK itu. Meski demikian, kata Indriyanto, KPK menghormati putusan MK soal hal ini.
"Bahwa ada perdebatan, maka hal ini sebagai suatu kewajaran yang nantinya patut dihormati pula oleh pihak-pihak berkepentingan," kata Indriyanto.
Indriyanto tidak khawatir jika nantinya delik korupsi masuk ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga putusan MK akan berlaku pula dalam penanganan korupsi oleh KPK. Menurut dia, masuk atau tidaknya delik korupsi ke dalam KUHP, KPK masih berwenang melakukan penindakan terhadap kasus korupsi.
"Pemahaman asas lex specialis terhadap delik tipikor bahwa KPK tetap berwenang memeriksa kasus delik tipikor yang berada di dalam maupun di luar KUHP," kata Indriyanto.
Putusan MK mengenai pemeriksaan anggota legislatif itu di luar permohonan para pemohon. Pemohon menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD. Namun, MK memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus diterbitkan oleh presiden.
Hakim MK Wahiduddin Adams mengatakan, keputusan seperti ini bukan sesuatu yang baru. Pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah UU, antara lain UU MK, UU tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, dan UU tentang Mahkamah Agung.
Selain itu, kata Wahiduddin, putusan ini sebagai bentuk fungsi dan upaya membenarkan mekanisme check and balances antara legislatif dan eksekutif. "Mahkamah (MK) berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari Mahkamah Kehormatan Dewan," kata Wahiduddin saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan terhadap anggota MPR dan DPD. Adapun pemeriksaan terhadap DPRD provinsi maupun kabupaten dan kota harus mendapat izin dari kepala daerah setingkatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.