JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, pengakuan eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang menyatakan perbuatan dirinya mengumpulkan uang dalam rangka melakukan kegiatan dinas guna memenuhi instruksi Presiden RI pada masa pandemi Covid-19 adalah tidak dapat diterima.
Menurut Jaksa dalam surat tuntutannya, pernyataan terdakwa SYL itu hanyalah alibi atau pembelaan sepihak karena tidak dapat dibuktikan dalam persidangan.
“Terdakwa tidak dapat membuktikan alibinya karena Presiden tidak pernah dihadirkan untuk memberikan keterangan di persidangan,” kata Jaksa dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (28/6/2024).
Kemudian, jaksa juga menyebut, SYL tidak bisa menunjukkan izin baik lisan atau tertulis bahwa yang dilakukannya adalah diskresi sebagaimana perintah dari Presiden RI.
Baca juga: Jaksa KPK: Surat Tuntutan SYL dkk Setebal 1.576 Halaman
Selain itu, Jaksa menyatakan perbuatan mengumpulkan uang melalui eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono dan eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) Kementan Muhammad Hatta terus dilakukan SYL pada tahun 2022 dan 2023.
Padahal, Jaksa menegaskan bahwa pada tahun 2022, Indonesia sudah memasuki kondisi new normal. Kemudian, status pandemi sudah dihapus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei 2023.
“Oleh karena itu, bantahan tersebut sudah sepatutnya ditolak atau dikesampingkan,” ujar Jaksa.
Sebagaimana diketahui, SYL dalam sidang pada 12 Juni 2024, sempat mengklaim bahwa kebijakan yang diambilnya saat memimpin Kementan merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Jokowi dan terkait kondisi pandemi Covid-19 serta El Nino.
Baca juga: Siap Kembalikan Uang, SYL: Tetapi Berapa? Masa Saya Tanggung Seluruhnya...
SYL juga menegaskan bahwa perintah yang diberikan kepada anak buah selama ini hanya untuk kepentingan negara yang dikerjakan oleh Kementan.
Pasalnya, Kementan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan tersedianya pangan dan kebutuhan jutaan rakyat Indonesia.
“Saya harus jelaskan ini, saya siap dihukum cuma memang saya berharap ini harus dilihat dalam konteks kepentingan nasional. Bapak adili saya dalam Indonesia lagi normal sementara pendekatan yang saya lakukan pada saat saya menjadi Menteri adalah kepentingan negara (saat Covid-19), kepentingan rakyat yang 280 (juta rakyat) yang terancam, dan semua bisa selesai,” kata SYL.
Namun, Istana melalui Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono membantah pernyataan SYL yang menyebut Presiden Jokowi memerintahkan penarikan uang anak buahnya di Kementan.
Dini menegaskan bahwa Presiden tidak pernah menginstruksikan anak buahnya untuk menarik uang dari bawahan di masing-masing kementerian dan lembaga guna menanggulangi krisis pangan.
"Tidak benar ada instruksi Presiden dalam rapat kabinet kepada para menteri/kepala lembaga untuk menarik uang dari bawahan atau staf dalam penanggulangan krisis pangan akibat pandemi dan El Nino," ujar Dini dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan pada 13 Juni 2024.
Baca juga: SYL Mengaku Menteri Paling Miskin, Rumah Cuma BTN Saat Jadi Gubernur
Dini menyebutkan, setiap instruksi dari presiden diatur dengan undang-undang dan tidak boleh melampaui wewenang menteri atau kepala lembaga.
"Setiap instruksi Presiden dan penggunaan diskresi oleh para pembantu presiden untuk menanggulangi suatu permasalahan haruslah dimaknai dan dibatasi sesuai prosedur diskresi yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan" kata Dini.
Dia juga mengatakan, setiap penarikan uang atau pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pejabat atau aparatur sipil negara untuk kepentingan pribadi merupakan tindak pidana korupsi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dalam perkara ini, SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf B jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
SYL dan kedua anak buahnya, Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta, didakwa telah melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi di lingkungan Kementan dengan total Rp 44,5 miliar.
Baca juga: Jaksa KPK: Bantahan SYL Bertentangan dengan Alat Bukti di Persidangan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.