Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vonis Rendah Achsanul Qosasi Disebut Alarm dalam Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 21/06/2024, 08:57 WIB
Novianti Setuningsih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut, vonis dua tahun enam bulan atau 2,5 tahun terhadap anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi, tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Pasalnya, Achsanul Qosasi dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp 40 miliar terkait proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Dengan nilai uang yang diterima sebesar itu, menurut Zaenur, vonis 2,5 tahun tentu tidak seimbang. Apalagi, Achsanul adalah pejabat tinggi dan pernah menjabat sebagai anggota dewan sehingga pasti paham akan hukum.

“Vonis rendah ini tentu akan menghilangkan efek jera, membuat orang, para pejabat tidak takut melakukan korupsi. Kenapa? Karena dengan jumlah suap yang sangat fantastis Rp 40 miliar dilakukan oleh orang dengan jabatan yang sangat tinggi Anggota BPK RI, tapi vonisnya hanya 2,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta,” kata Zaenur kepada Kompas.com, Jumat (21/6/2024).

Baca juga: Kasus BTS 4G, Anggota BPK Achsanul Qosasi Divonis 2,5 Tahun Penjara

Zaenur mengatakan, majelis hakim sebenarnya bisa menjatuhkan pidana maksimal lima tahun apabila menyatakan yang terbukti adalah Psal 11 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan alternatif ketiga.

“Nah ini menunjukkan pemberantasan korupsi sebagai lip service saja. Ini sangat tidak bisa diterima tentunya,” ujar Zaenur.

Apalagi, dia mengatakan, hakim mempertimbangkan pengembalian uang sebagai hal yang meringankan hukuman. Menurut Zaenur, alasan meringankan tersebut tidak bisa diterima.

Pasalnya, jaksa pasti akan menyita uang hasil korupsi tersebut meskipun tidak dikembalikan oleh terdakwa. Sebab, ada bukti yang kuat perihal penerimaan uang tersebut.

“Kalau alasan majelis hakim di tingkat pertama itu saya melihat tidak ada yang kuat, tidak cukup kuat untuk dapat diterima karena alasannya uang dikembalikan. Ya uang dikembalikan karena tidak ada kesempatan buat Achsanul untuk tidak mengembalikan dan menghindar,” kata Zaenur.

“Kalaupun Achsanul tidak mengembalikan, penyidik juga pasti akan merampas hasil dari korupsinya. Sehingga menurut saya alasan itu tidak cukup kuat,” ujarnya lagi.

Baca juga: Divonis 2,5 Tahun Bui, Anggota BPK Achsanul Qosasi Pikir-pikir

Oleh karena itu, Zaenur berharap agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas vonis ringan terhadap Achsanul Qosasi tersebut.

“Ini alarm yang buruk, pertanda yang buruk untuk pemberantasan korupsi kalau serendah ini. Sangat tidak adil apalagi misalnya dibandingkan dengan bentuk kejahatan yang lain, tindak pidana umum itu bisa jauh lebih berat daripada ini,” katanya.

Sebagaimana diberitakan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider empat bulan kurungan terhadap Achsanul Qosasi.

Dalam pertimbangannya, hakim menyebut pengembalian uang oleh Achsanul sebagai hal yang meringankan hukuman.

"Terdakwa telah mengembalikan keseluruhan uang yang telah diterima secara tidak sah sejumlah 2.640 juta AS yang setara dengan Rp 40 miliar,” kata Hakim Fahzal dalam sidang, Kamis (20/6/2024).

Baca juga: Mengaku Khilaf Terima Uang Rp 40 Miliar, Achsanul Qosasi Ingin Dimaafkan karena Merasa Berjasa

Halaman:


Terkini Lainnya

Soal Tawaran Kursi Cawagub Pilkada Jakarta oleh KIM, PKS: Beri Manfaat atau Jebakan?

Soal Tawaran Kursi Cawagub Pilkada Jakarta oleh KIM, PKS: Beri Manfaat atau Jebakan?

Nasional
Yakin Tak Ditinggal Partai Setelah Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Elektabilitasnya Paling Tinggi?

Yakin Tak Ditinggal Partai Setelah Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Elektabilitasnya Paling Tinggi?

Nasional
PKS Ungkap Surya Paloh Berikan Sinyal Dukungan Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta

PKS Ungkap Surya Paloh Berikan Sinyal Dukungan Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Nasional
KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

Nasional
KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan 'Back Up' Data Imigrasi

[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan "Back Up" Data Imigrasi

Nasional
Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Nasional
Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Nasional
Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Nasional
Pejabat Pemerintah Dinilai Tak 'Gentle' Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Pejabat Pemerintah Dinilai Tak "Gentle" Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Nasional
Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar 'Fun Run' hingga Konser di GBK Minggu Besok

Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar "Fun Run" hingga Konser di GBK Minggu Besok

Nasional
Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Nasional
Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com