Praktik “politik toxic” itulah yang menggerogoti Orba. Sejarah lalu mencatat pemerintah Orba runtuh lantaran korupsi, kolusi, dan nepotisme dibiarkan merajalela.
Reformasi boleh dikatakan memberi ruang yang sangat cukup untuk mengoreksi total praktik “politik toxic”. Parpol mendapatkan kepercayaan besar untuk menyiapkan pemimpin politik, bukan pejabat politik.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, para pendiri bangsa Indonesia memilih demokrasi agar kekuasaan dapat diwajibkan terbuka dan bertanggung jawab. Agar kekuasaan sebesar-besarnya diselenggarakan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Dalam konteks tersebut parpol adalah sokoguru, pilar utama. Lewat parpol lah rakyat berhimpun secara politik. Lewat parpol pula rakyat memberikan suara dalam pemilu untuk memilih pemimpinnya.
Lewat kader-kader parpol di legislatif pula rakyat mewakilkan aspirasi. Melalui kader-kader parpol di pemerintahan pula kebijakan publik dibuat dan diputuskan.
Karena itu, kita sangat prihatin terhadap kinerja sistem dan lembaga politik reformasi yang ternyata mengulang praktik “politik toxic” yang hanya melahirkan pejabat politik, bukan pemimpin politik.
Kekuasaan bukan didayagunakan untuk menyejahterakan rakyat. Kekuasaan dinikmati sendiri, keluarga dan kroninya.
Seorang kader parpol ditunjuk sebagai menteri tentu saja bukan sembarang kader. Ia merupakan kader pilihan di antara kader-kader lain.
Sudah sedemikian parahkah “politik toxic” menggerogoti sistem dan kelembagaan politik kita hari ini, sehingga keteladanan para pendiri bangsa terkesan tak berjejak sama sekali?
Para pendiri bangsa jelas bukan golongan rakyat biasa. Mereka memiliki akses untuk menikmati kelezatan zaman kolonial yang diberikan oleh pemerintah negara kolonial.
Namun, akses itu bukan untuk kenikmatan sendiri, keluarga dan golongannya, melainkan untuk memerdekakan orang-orang yang terpinggirkan, terkalahkan, dan teraniaya oleh sistem negara kolonial. Mereka memilih dikutuk pemerintah kolonial daripada dikutuk rakyat.
Begitulah pemimpin politik. Ia bekerja dengan natur kepemimpinannya. Dalam konteks Indonesia, bekerja sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Pesan Luhut sangat positif. Namun, tantangan dilematis buat Prabowo.
Pemerintahan Prabowo, meskipun dipilih 58,59 persen pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, tak mungkin meninggalkan parpol pengusung. Faktanya, Prabowo dicalonkan oleh gabungan parpol.
Bahkan, gabungan parpol pengusung itu dianggap belum cukup untuk membentuk pemerintahan yang diinginkan. Prabowo masih merasa butuh merangkul parpol yang semula menjadi kompetitornya pada Pilpres 2024.
Cara Jokowi rupanya menginspirasi Prabowo. Tak ada yang salah sebagai strategi untuk memperoleh dukungan mayoritas dari Senayan.
Karena itu, pemerintahan Prabowo diprediksi bakal mirip pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Prabowo mengajak hampir semua parpol.
Masalahnya, adakah sistem yang memastikan bahwa kader-kader parpol yang diajukan nanti bukan orang-orang “toxic”?
Sebagai presiden terpilih, Prabowo punya kewenangan memilih orang-orang yang kelak mengisi kabinetnya. Tentu saja termasuk yang diajukan parpol.