Namun, seberapa hebat “deteksi” Prabowo untuk mengamankan pemerintahannya dari orang-orang “toxic”? Di sinilah tantangan dilematis itu.
Pada satu sisi pemerintahan Prabowo sangat butuh dukungan politik, terutama dari parpol. Namun, pada sisi lain, sistem dan kelembagaan politik masih memberikan tempat bagi orang-orang “toxic”.
Mereka berkelindan di parpol dan lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan, berkelindan pula di lembaga lain yang urusannya dengan parpol dan lembaga-lembaga negara.
Suatu ironi, era reformasi justru ditandai menguatkan korupsi. Yang dicuri dan diselewengkan bukan lagi recehan, skala kecil-kecilan. Yang dikorupsi sudah skala “giga”.
Caranya pun super canggih. Tak lagi dilakukan dengan cara konvensional yang mudah ditemukan oleh penegak hukum.
Korupsi super canggih kini dilakukan dengan persekongkolan untuk menyandera lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di kalangan ilmuwan sosial disebut “state-hijacked corruption”.
Korupsi super canggih itu mengejawantah dalam bentuk pembelian dekrit politik, peraturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan, dan kontrak karya oleh korporasi besar.
Bidangnya pun berkategori “basah”, seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, kelautan, perbankan, perdagangan dan bidang-bidang lain.
Singkat kata, negara diperalat demi kepentingan mereka tanpa bisa disebut dan dibuktikan sebagai korupsi.
Orang “toxic” bisa jadi bertampang loyalis kepada negara, tapi sejatinya memperalatnya untuk kepentingan sendiri, keluarga dan kroninya. Tanpa peduli nasib orang lain, nasib rakyat Indonesia ke depan. Yang penting mau dan menangnya sendiri.
Prabowo tak bisa cuek dengan tantangan dilematis tersebut. Tak ada pilihan tanpa risiko. Siapapun presiden terpilih akan berhadapan dengan tantangan dilematis itu.
Di Serat Kalatidha, pujangga besar sastra Jawa, Ronggowarsito, mengingatkan: “begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada” (betapapun beruntung orang yang lupa, masih beruntung yang masih sadar dan waspada).
Begitulah “zaman edan”, tatkala manusia sibuk menumpuk kekayaan material, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Kekayaan material dipuja-puja mengalahkan keluhuran budi. Bila tak “ngedan”, seseorang tak akan mendapatkan bagian.
Ujian buat Prabowo, memilih “eling lawan waspada” (sadar dan waspada) atau “ngedan” (ikut-ikutan gila).
Apakah Prabowo akan menempuh perjuangan besar untuk perubahan besar Indonesia?
“Perubahan besar membutuhkan perjuangan besar,” demikian Prabowo menorehkan keyakinannya pada buku berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman” (PT Media Pandu Bangsa, 2022).
Rakyat menunggu perjuangan besarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.