Perlu implementasi kebijakan yang konkret dan penegakan aturan yang tegas agar kejadian negatif tersebut tidak terus berulang.
Dalam mengatasi dosa besar pendidikan, diperlukan kesadaran, pendekatan preventif, dan penegakan hukum yang tegas.
Namun, perubahan yang berkelanjutan hanya akan terwujud melalui komitmen kolektif dari semua pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan bermartabat.
Sejak 2016, sudah ada gerakan penguatan pendidikan karakter yang digulirkan. Terdapat lima nilai karakter utama bersumber dari Pancasila yang menjadi prioritas pengembangannya, yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan.
Masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berjalan secara dinamis, dan membentuk keutuhan pribadi.
Langkah-langkah konkret seperti gerakan penguatan karakter dan pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan budi pekerti merupakan modal jangka panjang pembenahan etika berbangsa.
Program-program serupa, seperti pelatihan untuk pendidik dalam mengimplementasikan budi pekerti, serta program-program pemberdayaan masyarakat dalam memperkuat nilai-nilai moral dapat menjadi langkah penting dalam memperbaiki etika berbangsa.
Kekhawatiran mengenai penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah, bukan tanpa sebab. Pramuka memiliki sejarah panjang dalam mengeratkan anak bangsa yang beraneka suku, agama, ras/golongan melalui pembelajaran berbasis kompetensi dan kapasitas di luar ruang.
Polemik ini perlu diletakan pada akar masalah yang mendasar mengenai kebutuhan karakter peserta didik. Jangan lagi menambah dosa-dosa pendidikan dengan adanya kebijakan yang meminggirkan semangat pembenahan etika berbangsa.
Sebagian publik khawatir betul mengenai masa depan etika berbangsa kita. Kekhawatiran ini muncul sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara nilai-nilai yang diajarkan dengan praktik yang dijalankan.
Benarkah kita akan kehilangan prinsip etika berbangsa? Ketika publik seakan biasa saja dan menerima dengan kesadaran bahwa ketimpangan sosial-ekonomi, korupsi/kolusi, guru terjerat pinjol, mahasiswa kesulitan bayar UKT, atau perilaku tidak etis dalam politik seakan berjalan sambil lalu saja.
Setidaknya, perlu mengingat kembali ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam mendidik tentang kebangsaan. Ajaran itu termaktub dalam asas Pancadharma: yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Dalam satu asasnya, yakni asas kebangsaan, asas ini memperjuangkan prinsip rasa kebangsaan yang harus tumbuh dalam dunia pengajaran.
Pendidikan diharapkan mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi berdasarkan daerah, suku, keturunan dan agama.
Maka, pendidikan kebangsaan dilakukan melalui pendekatan etika, budi pekerti, sejarah kebudayaan, sejarah bangsa, bahasa, hingga kesenian.