Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Widdy Apriandi
Peneliti

Peneliti Data Desa Presisi, Mahasiswa Pasca-Sarjana IPB University

Pilkada dan Kultus Popularitas

Kompas.com - 15/04/2024, 05:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada konteks itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Arie Sujito (2023) mewanti-wanti bahwa keputusan memilih pemimpin bukanlah hal sepele. Ada pertimbangan lain yang lebih mendasar dari sekadar popularitas.

Di antaranya: integritas, kompetensi, dan komitmen untuk merealisasikan gagasan melalui aksi pembangunan.

Selanjutnya, di aras yang lebih luas, Fukuyama (2017) menyinggung ihwal resiko kultus personal yang muncul dari akar popularitas.

Ia menekankan, pada level tertentu, kultus personal akan menciptakan kontradiksi dengan demokrasi itu sendiri. Sejak pribadi yang dibalut popularitas menguasai arena politik sepenuhnya dan mampu meng-klaim diri pribadi sebagai otoritas.

Bersama rakyat yang mendukungnya, ia dapat memosisikan pihak lain sebagai “musuh” yang perlu dilawan dan diberangus kalau perlu. Di lain sisi, ia pun bisa melestarikan kekuasaannya melalui skenario dinasti politik maupun klientelisme.

Otonomi daerah dan agenda kesejahteraan

Kapasitas pemimpin daerah berkontribusi besar terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Karena itu, penting untuk memastikan kehadiran calon-calon kepala daerah yang layak di arena kontestasi Pilkada.

Pertimbangan paling krusial adalah paradigma kesejahteraan yang direfleksikan dalam tawaran program-program pembangunan calon kepala daerah.

Hal demikian esensial sebagai indikator utama kelayakan calon kepala daerah. Sebab, ujung dari desentralisasi dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut Indonesia tidak lain adalah peningkatan taraf hidup rakyat (Sjaf, 2022; L. Hakim, 2023).

Seterusnya, konteks peningkatan taraf hidup itu sendiri merujuk pada semua kelas ekonomi rakyat tanpa kecuali. Tidak ada yang tertinggal di belakang.

Karena, transformasi tak berimbang (unbalanced transformation) niscaya menciptakan ketimpangan ekonomi yang justru menjadi problem sensitif dengan segala kompleksitasnya.

Indikator krusial selanjutnya terkait kelayakan calon kepala daerah yang perlu menjadi perhatian adalah perspektif data.

Dalam hal ini, data adalah elemen penting dalam suksesi agenda pembangunan di setiap tahapan: dari mulai perencanaan, eksekusi, hingga tahap evaluasi.

Di semua tahapan pembangunan itu, data telak menjadi rujukan kebijakan. Kualitas data, dengan demikian, adalah urgensi.

Ketidak-tepatan data melahirkan data semu (pseudo data)–yang tidak hanya rentan distorsi, tetapi bahkan cenderung manipulatif.

Implikasinya, ketika diletakkan sebagai justifikasi kebijakan, maka hasilnya adalah program dan/atau kegiatan pembangunan semu (pseudo development) yang kental rekayasa dan tinggi peluang korupsi (Sjaf, 2022; Lab. Data Desa Presisi, 2023).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com