Kerugian akibat kebocoran anggaran adalah keniscayaan. Tetapi, pada prinsipnya, kerugian yang lebih substansial adalah bahwa program dan/atau kegiatan pembangunan gagal mencapai target dan sasarannya, yaitu rakyat yang sejatinya membutuhkan keberpihakan Pemerintah Daerah.
Kehadiran calon-calon kepala daerah berbekal dua perspektif krusial tersebut tentu tidak lahir otomatis begitu saja.
Mengutip istilah Eep Saepuloh Fatah dalam “membangun oposisi” (1999), dibutuhkan kerja keras “kaum demokrat” yang sadar betul pentingnya otonomi daerah sebagai jalan transformasi kesejahteraan rakyat.
“Kaum demokrat” itu sendiri bukan identitas eksklusif. Di satu sisi, ia merujuk kepada pribadi-pribadi di partai politik yang berperan besar dalam kontestasi Pilkada, lebih khusus secara prosedural.
Di lain sisi, “kaum demokrat” juga adalah komunitas sipil (civil society) yang sadar dan ‘ngotot’ menghendaki calon-calon kepala daerah yang betul-betul layak diberikan amanah.
Keduanya perlu kolaborasi. Dan ruang itu mau tidak mau harus diciptakan. Harus! Kecuali, kita sepakat: Pilkada sebatas “business as usual”. Semata hingar-bingar ‘pesta’ dan transaksi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.