Serta Putusan No 4/PUU-VII/2009 tentang hak politik mantan narapidana untuk ikut dalam kontestasi Pemilu.
Belum lagi dalam perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), MK pernah membuat putusan yang mendiskualifikasi salah satu Paslon dalam Pilkada Kabupaten Yalimo Tahun 2020 karena tidak memenuhi syarat sebagai calon.
Dalam putusan seperti itu, (Martitah, 2013) Mahkamah menempatkan keadilan di atas hukum dan bukan sebaliknya.
Melalui putusan itu juga, diperlihatkan pentingnya kreativitas dan kepeloporan hakim dalam menciptakan terobosan dan penemuan hukum demi menghadirkan penegakan hukum yang berbasis keadilan substantif.
Didapati lebih lanjut bahwa Mahkamah tidak terlepas dari doktrin Judicial Activism yang melandasinya untuk menerobos kewenangan dan bahkan undang-undang yang telah ada sebelumnya.
Lino Graglia mengatakan, doktrin Judicial Activism adalah pandangan yang membolehkan hakim untuk membuat putusan pengadilan berdasarkan pertimbangan pribadi atau politik yang dimilikinya, dengan maksud untuk menghadirkan keadilan dan kepastian hukum. (Prabowo, 2022)
Doktrin inilah yang kemudian sebetulnya, dapat menjadi alternatif cara penyelesaian bagi Mahkamah dalam memutus perkara PHPU yang sedang ditangani saat ini.
Berangkat dari putusan yang bernuansa Judicial Activism sebelumnya itu, sesunguhnya Mahkamah tidak perlu ragu untuk menerapkan doktrin tersebut sepanjang memang ditemukan bukti yang kuat serta dalil yang dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar.
Hal tersebut perlu untuk digaris bawahi oleh Mahkamah, sebagai rambu-rambu di dalam memutus perkara PHPU.
Rambu-rambu itu penting untuk dipedomani, mengingat undang-undang telah membatasi kewenangan MK hanya sebatas memeriksa sengketa hasil Pemilu.
Maka, aktivitas Judicial Activism hakim haruslah didasari dengan bukti dan dalil kuat. Sehingga putusan yang dilahirkan dengan menerobos kekakuan prosedur dan hukum tersebut, dapat dinilai sebanding manfaatnya serta mendapatkan legitimasi yang kuat karena akan mencerminkan keadilan substantif.
Dari sengketa Pilpres kali ini pula, kita menemukan adanya perdebatan mengenai jenis pelanggaran Pemilu yang dianut oleh undang-undang.
Salah satu yang menyeruak dalam persidangan adalah, UU Pemilu saat ini tidak mengakomodasi nepotisme termasuk kedalam jenis pelanggaran Pemilu yang kemudian dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Oleh sebab itu, dengan adanya berbagai problematika hukum yang tersaji dalam persidangan MK kali ini serta demi menjaga tegaknya asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, sudah sepatutnya pembentuk UU dalam hal ini DPR dan presiden, menjadikan hal tersebut sebagai catatan penting untuk mengevaluasi sistem penanganan sengketa Pemilu yang berlaku hari ini.
Kehendak politik (political will) untuk memperbaiki sistem penanganan sengketa Pemilu tersebut harus dipelopori oleh pembentuk UU, sehingga amanat konstitusi untuk menghadirkan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil), dapat terus diupayakan dalam kehidupan bernegara kita kedepannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.