Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indra Fatwa
Dosen dan Advokat

Pegiat Hukum Tata Negara & Hukum Adminsitrasi Negara

Sengketa Pilpres 2024: Menanti Ketuk Palu Sang Penjaga Konstitusi

Kompas.com - 11/04/2024, 14:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENGKETA Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) terhadap hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 yang saat ini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), memunculkan diskusi dan perdebatan sangat bermutu sebagai bagian dari pendidikan hukum dan demokrasi bagi warga negara.

Sejak model pemilihan langsung diterapkan dalam Pilpres di Indonesia, bisa dikatakan inilah sengketa Pilpres yang paling banyak mendapat sorotan publik, bahkan sebelum perkara PHPU tersebut didaftarkan ke MK.

Berbagai bentuk dugaan pelanggaran Pemilu yang didalilkan para Pemohon di antaranya politisasi bantuan sosial (Bansos), penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, sampai yang paling banyak disinggung terkait keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, menjadi percakapan (diskursus) utama yang mendominasi jalannya persidangan.

Diskursus yang menarik lebih lanjut dalam persidangan adalah, para Pemohon yang terdiri dari pasangan calon 01 dan 03 kompak untuk sama-sama menggugah Mahkamah dalam memeriksa dan mengadili perkara ini agar menerapkan doktrin Aktivisme Yudisial (Judicial Activism).

Hal ini dianggap para Pemohon perlu untuk dilakukan, agar MK keluar dari anggapan sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang kewenangannya hanya menilai selisih angka perolehan suara di dalam mengadili perkara PHPU selama ini.

MK hari ini memang sedang berada pada situasi yang cukup dilematis. Problematika yang timbul di masyarakat pasca-Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden, oleh sebagian kalangan dianggap telah mendegradasi marwah Mahkamah hingga ke titik nadir.

Sehingga Mahkamah dipandang perlu untuk mengembalikan marwahnya ke posisi yang terhormat seperti semula, melalui upaya-upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui putusan dalam sengketa Pilpres kali ini.

Namun di sisi lain, Mahkamah dihadapkan pada situasi terkait kewenangannya di dalam memeriksa dan mengadili sengketa Pilpres yang telah dibatasi oleh Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu hanya sebatas menguji sengketa hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) saja.

Terlebih lagi jika merujuk sengketa Pilpres yang selama ini ditangani oleh MK, belum pernah didapati sikap Mahkamah yang berubah terhadap pendiriannya terkait hal tersebut.

Walaupun pada 2019, Mahkamah sempat memeriksa dugaan pelanggaran Pemilu yang termasuk dalam sengketa proses, sebagaimana yang disampaikan oleh Charles Simabura dalam keterangan sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon dari Paslon 03 di persidangan.

Namun hal tersebut sesungguhnya tidak cukup meyakinkan sikap Mahkamah untuk masuk mengadili sengketa proses Pemilu dalam Pilpres pada waktu itu.

Hal ini tercermin dalam pertimbangan hukum Mahkamah pada Putusan No 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang sengketa Pilpres 2019 yang menegaskan kembali bahwa, sengketa proses Pemilu berada dalam ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menerobos kewenangan Mahkamah

MK pernah dikenal sebagai institusi peradilan yang sering menciptakan terobosan-terobosan hukum melalui berbagai putusan monumental.

Dalam perkara pengujian undang-undang misalnya, Mahkamah melahirkan Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Paspor sebagai syarat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilu.

Putusan No 14/PUU-XI/2013 tentang penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pilpres secara serentak.

Serta Putusan No 4/PUU-VII/2009 tentang hak politik mantan narapidana untuk ikut dalam kontestasi Pemilu.

Belum lagi dalam perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), MK pernah membuat putusan yang mendiskualifikasi salah satu Paslon dalam Pilkada Kabupaten Yalimo Tahun 2020 karena tidak memenuhi syarat sebagai calon.

Dalam putusan seperti itu, (Martitah, 2013) Mahkamah menempatkan keadilan di atas hukum dan bukan sebaliknya.

Melalui putusan itu juga, diperlihatkan pentingnya kreativitas dan kepeloporan hakim dalam menciptakan terobosan dan penemuan hukum demi menghadirkan penegakan hukum yang berbasis keadilan substantif.

Didapati lebih lanjut bahwa Mahkamah tidak terlepas dari doktrin Judicial Activism yang melandasinya untuk menerobos kewenangan dan bahkan undang-undang yang telah ada sebelumnya.

Lino Graglia mengatakan, doktrin Judicial Activism adalah pandangan yang membolehkan hakim untuk membuat putusan pengadilan berdasarkan pertimbangan pribadi atau politik yang dimilikinya, dengan maksud untuk menghadirkan keadilan dan kepastian hukum. (Prabowo, 2022)

Doktrin inilah yang kemudian sebetulnya, dapat menjadi alternatif cara penyelesaian bagi Mahkamah dalam memutus perkara PHPU yang sedang ditangani saat ini.

Berangkat dari putusan yang bernuansa Judicial Activism sebelumnya itu, sesunguhnya Mahkamah tidak perlu ragu untuk menerapkan doktrin tersebut sepanjang memang ditemukan bukti yang kuat serta dalil yang dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar.

Hal tersebut perlu untuk digaris bawahi oleh Mahkamah, sebagai rambu-rambu di dalam memutus perkara PHPU.

Rambu-rambu itu penting untuk dipedomani, mengingat undang-undang telah membatasi kewenangan MK hanya sebatas memeriksa sengketa hasil Pemilu.

Maka, aktivitas Judicial Activism hakim haruslah didasari dengan bukti dan dalil kuat. Sehingga putusan yang dilahirkan dengan menerobos kekakuan prosedur dan hukum tersebut, dapat dinilai sebanding manfaatnya serta mendapatkan legitimasi yang kuat karena akan mencerminkan keadilan substantif.

Dari sengketa Pilpres kali ini pula, kita menemukan adanya perdebatan mengenai jenis pelanggaran Pemilu yang dianut oleh undang-undang.

Salah satu yang menyeruak dalam persidangan adalah, UU Pemilu saat ini tidak mengakomodasi nepotisme termasuk kedalam jenis pelanggaran Pemilu yang kemudian dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Oleh sebab itu, dengan adanya berbagai problematika hukum yang tersaji dalam persidangan MK kali ini serta demi menjaga tegaknya asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, sudah sepatutnya pembentuk UU dalam hal ini DPR dan presiden, menjadikan hal tersebut sebagai catatan penting untuk mengevaluasi sistem penanganan sengketa Pemilu yang berlaku hari ini.

Kehendak politik (political will) untuk memperbaiki sistem penanganan sengketa Pemilu tersebut harus dipelopori oleh pembentuk UU, sehingga amanat konstitusi untuk menghadirkan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil), dapat terus diupayakan dalam kehidupan bernegara kita kedepannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com