Namun pesan saya, sebelum diterjunkan ke "medan laga" mudik Lebaran, sebaiknya para polwan diberikan penguatan khusus.
Bekerja sebagai polwan bermakna sama dengan menekuni salah satu profesi terberat di dunia. Mendedikasikan diri untuk mengurus keluarga juga merupakan pengabdian mulia yang membutuhkan stamina tidak sedikit.
Dua kutub yang sama-sama memiliki gravitasi besar itu, para Polwan—terutama yang sudah berumah tangga—tentu perlu pintar-pintar mengelola diri.
Apalagi, riset menemukan, polwan ternyata berisiko 1,66 kali lebih tinggi daripada polki untuk mengalami tekanan batin dan menderita gejala gangguan mental lebih parah.
Masyarakat, utamanya pemudik, tentu tak sanggup jika mereka merasa semakin lelah akibat berhadapan dengan polisi-polisi yang justru stres berat di lapangan.
Masalah tekanan batin apalagi gangguan jiwa personel polisi pasti sangat mahal harganya. Apalagi jika problematika psikologis itu meluap ke dalam bentuk perilaku berbahaya, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat.
Karena itu, inisiatif penguatan jiwa tidak sepatutnya dibingkai sebagai isu individu per individu semata.
Polri, sebagai institusi, juga patut membangun sistem yang memadai agar setiap personel, termasuk polwan, tetap mampu menjaga keseimbangan antara kehidupan yang bersangkutan sebagai insan Tribrata dan sebagai insan yang juga memiliki tanggung jawab keluarga.
Dari sisi psikologi, beberapa subsistem yang dapat dibangun adalah, pertama, mengedukasi para polwan agar memiliki emotional reactivity dan emotional regulation sekaligus.
Konkretnya, alih-alih mendefinisikan kepribadian ideal yang harus dimiliki oleh Polwan, akan lebih memberdayakan manakala masing-masing Polwan sanggup mengidentifikasi kerentanan psikologis mereka serta keterampilan untuk secepat mungkin mengelola diri saat kerentanan itu terpapar pada sumber-sumber stres.
Penting disadari bahwa pengelolaan itu tidak melulu berbentuk kecakapan menolong diri sendiri. Hingga derajat tertentu para Polwan anggaplah sanggup melakukan swaadaptasi.
Namun institusi Polri perlu mafhum bahwa ada kalanya Polwan membutuhkan bantuan eksternal.
Pada titik inilah, subsistem kedua: Polri sepatutnya memaksimalkan fungsi unit psikologinya. Dan polwan yang mendatangi unit psikologi guna mencari pertolongan tidak boleh diberikan catatan negatif.
Justru kepada mereka patut diberikan pengakuan positif karena mereka tahu persis kapan emotional regulation dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal.
Dalam bahasa psikologi, Polwan yang mencari bantuan psikologis ke unit terkait adalah sekumpulan individu yang tidak melakukan pengingkaran atau pun penenggelaman terhadap impitan batin mereka. Dan itu adalah ciri individu dengan potensi kesehatan mental yang positif.
Subsistem ketiga berfokus pada insentif. Yakni, ke depan, dalam rangka memperbesar peluang bagi para Polwan untuk menempati jabatan strategis, SDM Polri perlu menetapkan ketentuan mutlak terkait pengembangan karier profesional mereka.
Yakni, misalnya, akselerasi karier hanya tersedia bagi Polwan yang pernah berjibaku di belantara arus mudik dan arus balik minimal sebanyak enam tahun, ditambah memiliki kondisi rumah tangga yang baik.
Polwan-polwan dengan pengalaman tersebut niscaya memiliki ketangguhan ekstra sebagaimana tertuang di bagian awal tulisan ini: insan yang mampu mengharmonisasi karier selaku insan Tribrata dan darma sebagai bagian dari keluarga.
Selamat bekerja, Ibu-ibu Polwan. Selamat mengabdi, Sahabat. Melati indah kami sematkan. Sampai berjumpa di jalan, keluarga dan anak-anak di rumah jangan dilupakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.