JAKARTA, KOMPAS.com - Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah ahli yang dihadirkan oleh kubu pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menilai pencalonan Gibran bermasalah.
Salah satunya, Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan yang menilai pencalonan Gibran sebagai cawapres tidak sah.
"Pencalonan Gibran Rakabuming Raka dari persepektif hukum administrasi, saya menyimpulkan itu tidak sah," kata Ridwan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024).
Baca juga: Sidang Sengketa Pilpres, Ahli Hukum Administrasi: Pencalonan Gibran Tidak Sah
Ridwan beralasan, saat periode pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI belum mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang mensyaratkan usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun.
Sedangkan, saat itu Gibran baru berusia 36 tahun. Oleh karena itu, menurut Ridwan, putra sulung Presiden Joko Widodo (jokowi) tersebut tidak dapat diterima pencalonannya.
"Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang mensyaratkan calonnya itu adalah berusia paling rendah 40 tahun," ujar Ridwan.
Ridwan pun menilai aneh Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023 terkait penetapan capres-cawapres pada Pilpres 2024.
Sebab, konsiderans dalam keputusan tersebut menyebutkan ketentuan Pasal 52 Ayat (1) PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagai salah satu pertimbangannya.
Baca juga: Sidang Sengketa Pilpres, Ahli Sebut Perubahan Syarat Capres-Cawapres Ubah Peta Kompetisi Pemilu
Padahal, Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023 dikeluarkan pada 13 November 2023 setelah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 diubah pada 3 November 2023 atau 10 hari sebelumnya.
"Kok masih dijadikan dasar pertimbangan menimbang, konsiderans menimbang? Itu secara hukum administrasi kurang tepat karena tidak berlaku, mestinya yang jadi pertimbangkan adalah undang-undang yang baru, peraturan yang baru," ujar Ridwan.
Sementara itu, ahli ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan, perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang mendadak, mengubah peta kompetisi Pemilu 2024.
"Perubahan persyaratan dalam waktu yang singkat di tengah proses pendaftaran mengakibatkan perubahan mendasar terhadap peta kompetisi Pemilu 2024," kata Bambang dalam sidang di MK, Senin.
Bambang lantas mengatakan, kerangka hukum pemilu semestinya dijalankan secara konsisten dan tidak boleh diamandemen dalam jangka waktu tertentu sebelum pemilu.
Tujuannya, agar seluruh kandidat memperoleh kesempatan yang sama dan tidak ada yang secara spesifik diuntungkan oleh perubahan aturan secara dadakan itu.
Baca juga: MK Panggil 4 Menteri dalam Sengketa Pilpres, Prabowo-Gibran: Blessing In Disguise
Dalam hal ini, Bambang menilai bahwa penetapan Gibran Rakabuming sebagai cawapres tidak hanya melanggar etika, tetapi juga melanggar hukum dan konstitusi.
"Masuknya Gibran, putra presiden, menimbulkan ketimpangan arena kompetisi sehingga pemilu sebagai demokrasi prosedural mengalami disfungsi elektoral," ujar Bambang.
Seperti diketahui, Gibran berhak maju menjadi cawapres setelah MK mengubah syarat usia dalam pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang (UU) Pemilu.
Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Oleh karenanya, berdasarkan putusan tanggal 17 Oktober 2023, Gibran bisa maju sebagai cawapres meski saat itu masih berusia 36 tahun.
Baca juga: Di Sidang MK, Faisal Basri Sebut Airlangga, Bahlil, dan Zulhas Paling Vulgar Memolitisasi Bansos
Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI diketahui belum mengubah Peraturan KPU (PKPU) saat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) mendaftar sebagai peserta Pilpres, termasuk pasangan Prabowo-Gibran.
Padahal, sudah ada putusan MK tersebut. KPU baru mengubah PKPU lebih kurang satu minggu setelah menerima pendaftaran capres-cawapres, tepatnya pada 3 November 2023.
Sementara itu, para kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Pembela Prabowo-Gibran menilai ahli yang diajukan oleh Anies-Muhaimin tidak memberikan fakta baru.
"Intinya, menurut hemat kami, sebenarnya saksi yang dihadirkan itu todak menerangkan apa-apa, hanya ngomong-ngomong saja enggak jelas apa yang diomongkan," kata Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, Senin.
Dia juga mengeklaim bahwa pertanyaan yang pihaknya ajukan tidak mampu dijawab dengan semestinya oleh para ahli.
Baca juga: Di Sidang MK, Ahli Sebut Jokowi Langgar Konstitusi dan Sejumlah UU karena Beri Bansos Sepihak
Oleh sebab itu, Yusril berpandangan bahwa keterangan ahli tersebut tidak relevan untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan menambahkan, keterangan ahli juga jauh panggang dari api karena lebih banyak memberikan narasi ketimbang menjelaskan kasus yang sedang diperkarakan.
"Jadi memang kita tidak merasa susah payah melihat dengan adanya saksi-saksi yang diajukan dan ahli tadi itu, kita yakin sekali bahwa permohonan ini mungkin tidak akan dikabulkan kalau berdasarkan keterangan saksi-saksi dan ahli ini," ujar Otto.
Pada sidang lanjutan, Selasa (2/4/2024) hari ini, giliran kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang menghadirkan saksi dan ahli untuk didengarkan keterangannya di hadapan sidang.
Baca juga: Faisal Basri: Nyata bahwa BLT El Nino Hanya untuk Meningkatkan Suara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.