Namun, jabatan ini kembali dipegang oleh Sunarto sebagai Pelaksana Tugas (PLT) yang tidak dilepaskan sampai saat ini.
Padahal, seorang Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial telah membawahi banyak Bidang. Misalnya, Bidang Muda Pembinaan, Bidang Muda Pengawasan, Anggaran, Direktorat Jenderal Peradilan Umum, Agama dan Badmiltun, Kesekretariatan MA, Badan Pelatihan & Pendidikan MA dan lainnya.
Menurut Boyamin, kosongnya jabatan Wakil ketua MA Bidang Non-Yudisial menyebabkan terhambatnya implementasi, pelaksanaan dan kinerja MA secara umum.
Baca juga: MA: Dipecat dari Hakim, Tak Serta Merta Status PNS-nya Dihentikan
“Hal inilah yang berakibat kepada turunnya kepercayaan publik kepada MA yang menganggap MA telah bermain ‘politik praktis’ dengan sengaja membiarkan beberapa jabatan penting yang strategis tetap kosong dan memusatkan power kepada orang tertentu di pucuk kepemimpinan MA,” ucapnya.
Intinya, kata Boyamin, Sunarto kini mengemban dua jabatan utama sekaligus, Wakil Ketua MA bidang yudisial dan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang wewenangannya menyamai kewenangan Ketua MA saat ini.
Padahal, tujuan pemisahan kedua bidang ini adalah untuk melakukan power sharing sehingga mencegah kekuasaan pimpinan MA untuk tidak dikuasai secara absolut dan cenderung abusive.
Di sisi kain. MA mengalami turbulensi parah sepanjang 2021-2024 di bawah kepemimpinan Wakil Ketua MA Non Yudisial Sunarto dengan banyaknya Hakim Agung sampai Sekretaris MA yang ditangkap penegak hukum atas dugaan suap.
Baca juga: Hasbi Hasan Bantah Terima Suap Rp 3 Miliar Terkait Penanganan Kasasi di MA
“Sejarah mencatat, sejak republik ini berdiri, tidak pernah ada Hakim Agung yang ditangkap dan divonis sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Sebuah bukti konkrit, MA tidak sedang baik – baik saja,” kata Boyamin.
Dengan kekosongan jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial sejak 7 Februari 2023 sampai saat ini dikhawatirkan akan semakin banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh Hakim Agung serta Hakim pada Lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung.
“Kami paham, bahwa Presiden selaku pelaksana tertinggi kekuasaan pemerintahan atau eksekutif di Republik Indonesia, tidak dapat melakukan intervensi terhadap Lembaga Negara di bidang Yudikatif,” kata Boyamin.
“Namun, sebagai Kepala Negara, Presiden memiliki political power untuk membuka komunikasi, menghimbau atau setidaknya mengingatkan Kepala Lembaga Negara lainnya, dalam hal ini Mahkamah Agung yang diketuai oleh Yang Mulia Muhammad Syarifuddin agar segera mengambil tindakan atas permasalahan ini,” ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.