Para pendeta dan umat wajib menjalankan dogma dan ritus yang telah ditetapkan. Namun, di ruang publik mereka punya kebebasan penuh dalam menyampaikan pemikirannya mengenai dogma dan ritual keagamaan tanpa takut dikriminalisasi dan dipersekusi.
Aturan yang melarang PNS mengkritik pemerintah di ruang publik, seperti di Indonesia, kontradiktif dengan semangat pencerahan.
Demikian pula dengan instrumen-instrumen hukum represif seperti UU ITE, UU KUHP, dan UU Penodaan Agama, sama sekali tidak memberi kebebasan berpendapat di ruang publik.
Tanpa kebebasan berpikir dan berekspresi, seseorang tidak akan mampu mengembangkan pemahamannya sendiri.
Konsekuensinya domestifikasi manusia akan langgeng. Individu akan senantiasa mengutamakan dan mengandalkan perintah otoritas karena tidak mampu menalar dan menilai secara mandiri.
Akhirnya masyarakat Indonesia mudah dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi elite-elite penguasa.
Bila ingin mengubah situasi, kita harus melenyapkan segala aturan-aturan yang mengekang kebebasan penggunaan akal secara publik.
Yunani Kuno, salah satu peradaban yang pernah mengalami pencerahan, dapat kita jadikan contoh. Terlepas dari persekusi yang menimpa Sokrates, Anaxagoras, dan Protagoras, di Yunani Kuno hampir tidak ada hambatan bagi pemikiran bebas dan progresif.
Selain itu, peradaban ini juga tidak pernah mengembangkan lembaga kepedentaan yang terorganisir (Zeller, 1889).
Hasilnya mereka bukan hanya mampu menciptakan filsafat (Barat), matematika dan geometri saintifik, ilmu sejarah, tragedi-tragedi kualitas wahid, dan struktur-struktur arsitektur jempolan, tetapi juga demokrasi.
Warga negara polis-polis Yunani Kuno yang telah dilengkapi penilaian mandiri, yang telah membebaskan dirinya dari ketidakdewasaan, enggan terus diperintah kaum aristokrat. Mereka membatasi dan menentang kekuasaan aristokrasi.
Dalam konflik tersebut, individu menjadi sadar akan kemandirian dan nilai dirinya sehingga siap memperjuangkan segala hak-haknya (Windelband, 1899).
Mereka merasa perlu untuk urun serta dalam pengurusan polis. Aristokrasi akhirnya ditumbangkan dan lahirlah demokrasi.
Maka jika kita ingin meningkatkan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab warga negara serta mengembangkan strategi untuk melawan manipulasi dan tekanan dari otoritas demi tercapainya demokrasi yang inklusif dan partisipatif, sebagaimana yang disampaikan Wawan, yang kita butuhkan adalah kemandirian berpikir. Tanpa hal tersebut, demokrasi di Indonesia akan semakin membusuk.
Foucault (1984) dalam What Is Enlightenment? berpendapat bahwa pencerahan tidak boleh dipahami hanya sebagai kewajiban yang dibebankan kepada individu, tetapi sebagai masalah politik.
Pencerahan bukan sekadar proses di mana individu akan mendapati kebebasan berpikir pribadinya terjamin.
Pencerahan terjadi ketika penggunaan nalar yang bersifat universal, bebas, dan umum disebarkan dan ditanamkan pada anggota masyarakat lainnya.
Individu-individu yang telah tercerahkan, dalam hal ini elite intelektul, punya tanggung jawab menyebarkan semangat dan nilai-nilai pencerahan sehingga harapannya kita tak lagi menjadi masyarakat “katak dalam tempurung” dan “kerbau dicocok hidungnya".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.