SKOR Indeks Demokrasi Indonesia 2023, yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit, merosot ke angka 6,53, dari angka 6,71 pada 2022. Indeks Demokrasi Indonesia sangat mungkin akan terus terjun jika tidak ada perubahan berarti.
Salah satu biang kerok kemunduran demokrasi Indonesia adalah sikap permisif masyarakat terhadap laku curang dan koruptif yang mencemari praktik-praktik politik di negeri ini.
Wawan Kurniawan menyebut masyarakat Indonesia seperti “katak dalam tempurung” (Kompas, 2/3/2024). Menurut dia, alih-alih melawan, masyarakat “katak dalam tempurung” menerima laku curang dan manipulatif dalam proses politik sebagai hal “normal”, secara tidak langsung memberikan legitimasi pada penguasa untuk memanipulasi sistem demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Ketidakmampuan masyarakat kita untuk merespons kondisi tersebut, menurut Wawan, dapat diterangkan. Salah satunya, melalui konsep “ketaataan otoritatif”, yakni individu memiliki kecenderungan bawaan untuk mengikuti perintah otoritas, terlepas apakah perintah tersebut selaras dengan prinsip moral mereka atau tidak.
Sejatinya masyarakat di negeri ini bukan hanya seperti “katak dalam tempurung”, tetapi juga bagai “kerbau dicocok hidungnya” yang membebek pada apa pun yang dikatakan oleh otoritas.
Namun, “ketataan otoritatif” bukan sesuatu yang multak dan tidak mustahil untuk disembuhkan. Kuasa otoritas dapat dilawan dengan antidot yang sangat ampuh, yakni pencerahan (enlightenment).
Pencerahan bukan periode sejarah, melainkan proses perkembangan sosial, psikologis, atau spiritual, yang tidak terbatasi waktu atau tempat (Bristow, 2023).
Asas formal pencerahan adalah independensi penilaian individu, untuk berpikir mandiri bagi diri sendiri, menggunakan dan mengandalkan kapasitas intelektual pribadi guna menentukan apa yang harus diyakini dan bagaimana bertindak.
Bukan berarti kita harus berpikir sendirian sepanjang waktu karena pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksaan orang lain tetap perlu jadi bahan pertimbangan.
Tidak, yang ditekankan adalah bahwa semua yang diyakini, dipikirkan, dan dilakukan adalah hasil pemeriksaan mandiri hingga ke akar-akarnya.
Kant (1992), dalam esainya yang masyhur, An Answer to the Question: What is Enlightenment? menyatakan bahwa pencerahan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang ia sebabkan sendiri.
Secara implisit, tersimpul bahwa yang bertanggung jawab atas ketidakdewasaan tersebut adalah individu itu sendiri sehingga harus diasumsikan ia mampu untuk membebaskan dirinya.
Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan dalam menggunakan pemahaman dan akal tanpa arahan orang lain, di mana kehendak kita membuat kita menerima otoritas orang lain untuk memimpin kita ke area di mana penggunaan akal diperlukan.
Orang yang belum tercerahkan adalah individu yang membiarkan pikiran dan tindakannya didikte oleh orang lain sehingga mudah dikendalikan.
Ada dua sebab ketidakdewasaan yang menyebabkan orang liyan dengan mudah memaksakan otoritasnya. Pertama, kemalasan dan kepengecutan. Keduanya memberikan kedamaian dan ketenangan bagi manusia.
"Jika aku punya buku yang berfungsi sebagai pemahamanku, seorang pendeta sebagai hati nuraniku, seorang dokter yang menentukan pola makanku, dan sebagainya, aku tidak perlu mengerahkan daya upaya sama sekali. Aku tidak perlu berpikir jika aku mampu membayar: Orang lain akan siap melakukan pekerjaan yang menjengkelkan itu untukku" (Kant, 1784).
Menjadi tidak matang itu menyenangkan dan nyaman sehingga memberontak tidak pernah jadi opsi, termasuk pada status quo.
Kedua, kurangnya keberanian dan kelancangan lantas dimanfaatkan oleh segelintir individu untuk mendomenstifikasi orang banyak.
Setelah para wali ini memperbodoh kawanan, mereka kemudian menguraikan betapa berbahaya dan sulit langkah menuju kedewasaan.
Manusia yang senantiasa berjalan dengan dipapah, akan takut melangkah sendirian tanpa pemapah.
Tanpa arahan, individu juga akan tersesat di tengah jalan. Hal ini sudah cukup membuat seseorang meringkuk dalam ketundukannya.
Ketidakdewasaan, menurut Kant, bukan disebabkan karena kurangnya pemahaman atau kepandaian, melainkan karena kurangnya keteguhan dan keberanian.
Karena itu moto pencerahan adalah Sapere Aude: Miliki keberanian untuk menggunakan pemahamanmu sendiri!
Seseorang harus berani terantuk dan terjerembap, karena setelah terjatuh beberapa kali, ia akhirnya akan belajar berjalan sendirian.
Selanjutnya yang perlu dipenuhi adalah syarat fundamental pencerahan, yakni kebebasan penggunaan akal secara publik.
Kant membedakan antara penggunaan akal secara publik dan secara pribadi. Manusia menggunakan akal secara privat ketika ia sedang berlaku sebagai "roda gigi dalam suatu mesin", artinya ketika seseorang terikat pekerjaan karena dikekang aturan-aturan dan tujuan-tujuan tertentu, pengunaan akal bisa dibatasi. Seseorang hanya perlu patuh.
Di sisi lain, ketika seseorang menalar, dalam kapasitasnya sebagai makhluk berakal, berlaku sebagai seorang sarjana yang berbicara di hadapan publik, penggunaan akal harus bebas, tanpa harus mengganggu urusan-urusan yang menjadi tanggung jawabnya sebagai anggota pasif masyarakat.
Penggunaan akal secara publik berarti bahwa seseorang harus dianugeri kebebasan untuk menggunakan kapasitas rasionalnya.
Seorang PNS, dalam menjalankan tugas-tugasnya, wajib mengikuti arahan atasan dan aturan agar tujuan-tujuan yang ditetapkan bisa tercapai.
Namun sebagai sarjana ia tidak dapat dibatasi untuk mengkritik praktik-praktik korup dan pelanggaran etika para pejabat.
Para pendeta dan umat wajib menjalankan dogma dan ritus yang telah ditetapkan. Namun, di ruang publik mereka punya kebebasan penuh dalam menyampaikan pemikirannya mengenai dogma dan ritual keagamaan tanpa takut dikriminalisasi dan dipersekusi.
Aturan yang melarang PNS mengkritik pemerintah di ruang publik, seperti di Indonesia, kontradiktif dengan semangat pencerahan.
Demikian pula dengan instrumen-instrumen hukum represif seperti UU ITE, UU KUHP, dan UU Penodaan Agama, sama sekali tidak memberi kebebasan berpendapat di ruang publik.
Tanpa kebebasan berpikir dan berekspresi, seseorang tidak akan mampu mengembangkan pemahamannya sendiri.
Konsekuensinya domestifikasi manusia akan langgeng. Individu akan senantiasa mengutamakan dan mengandalkan perintah otoritas karena tidak mampu menalar dan menilai secara mandiri.
Akhirnya masyarakat Indonesia mudah dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi elite-elite penguasa.
Bila ingin mengubah situasi, kita harus melenyapkan segala aturan-aturan yang mengekang kebebasan penggunaan akal secara publik.
Yunani Kuno, salah satu peradaban yang pernah mengalami pencerahan, dapat kita jadikan contoh. Terlepas dari persekusi yang menimpa Sokrates, Anaxagoras, dan Protagoras, di Yunani Kuno hampir tidak ada hambatan bagi pemikiran bebas dan progresif.
Selain itu, peradaban ini juga tidak pernah mengembangkan lembaga kepedentaan yang terorganisir (Zeller, 1889).
Hasilnya mereka bukan hanya mampu menciptakan filsafat (Barat), matematika dan geometri saintifik, ilmu sejarah, tragedi-tragedi kualitas wahid, dan struktur-struktur arsitektur jempolan, tetapi juga demokrasi.
Warga negara polis-polis Yunani Kuno yang telah dilengkapi penilaian mandiri, yang telah membebaskan dirinya dari ketidakdewasaan, enggan terus diperintah kaum aristokrat. Mereka membatasi dan menentang kekuasaan aristokrasi.
Dalam konflik tersebut, individu menjadi sadar akan kemandirian dan nilai dirinya sehingga siap memperjuangkan segala hak-haknya (Windelband, 1899).
Mereka merasa perlu untuk urun serta dalam pengurusan polis. Aristokrasi akhirnya ditumbangkan dan lahirlah demokrasi.
Maka jika kita ingin meningkatkan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab warga negara serta mengembangkan strategi untuk melawan manipulasi dan tekanan dari otoritas demi tercapainya demokrasi yang inklusif dan partisipatif, sebagaimana yang disampaikan Wawan, yang kita butuhkan adalah kemandirian berpikir. Tanpa hal tersebut, demokrasi di Indonesia akan semakin membusuk.
Foucault (1984) dalam What Is Enlightenment? berpendapat bahwa pencerahan tidak boleh dipahami hanya sebagai kewajiban yang dibebankan kepada individu, tetapi sebagai masalah politik.
Pencerahan bukan sekadar proses di mana individu akan mendapati kebebasan berpikir pribadinya terjamin.
Pencerahan terjadi ketika penggunaan nalar yang bersifat universal, bebas, dan umum disebarkan dan ditanamkan pada anggota masyarakat lainnya.
Individu-individu yang telah tercerahkan, dalam hal ini elite intelektul, punya tanggung jawab menyebarkan semangat dan nilai-nilai pencerahan sehingga harapannya kita tak lagi menjadi masyarakat “katak dalam tempurung” dan “kerbau dicocok hidungnya".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.