Mengapa kita menang? Hal ini kemungkinan karena pengujian pasal-pasal yang dikabulkan kerap dilakukan untuk menjerat aktivis yang kritis kepada pemerintah. Contoh aktual adalah apa yang pernah dialami oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Dua aktivis HAM itu dilaporkan Luhut Binsar Panjaitan ke polisi. Laporan itu dilayangkan setelah Haris dan Fatia menyampaikan hasil riset di Channel Youtube milik Haris Azhar.
Videonya berjudul Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam.
Dalam video itu, keduanya menyampaikan hasil riset dari koalisi masyarakat sipil. Riset itu memuat laporan tentang indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua. Studi kasus yang diambil adalah satu kasus di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Dalam laporan riset itu, setidaknya ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi. Dua di antaranya adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer atau polisi, termasuk Luhut.
Atas ucapan dua aktivis HAM itu, Luhut tak senang. Ia akhirnya melaporkan keduanya ke polisi. Melalui jeratan pasal pencemaran nama baik dan berita bohong (hoax), Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka.
Meski kini keduanya dibebaskan oleh pengadilan karena tidak terbukti bersalah, namun tetap saja tindakan Luhut adalah “intimidasi” dan kriminalisasi kepada pengkritiknya.
Pasal yang menjerat keduanya adalah pasal-pasal yang baru saja dihapus oleh MK. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Selain pasal itu, ada pula Pasal 301 (1) KUHP yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusional bersyarat.
Sehingga, wajar rasanya jika masyarakat sipil menganggap putusan itu sebagai kemenangan bagi mereka. Putusan itu semakin meneguhkan penegakan hak kebebasan berbicara mereka.
Kini, mereka merasa lebih aman untuk menyatakan pendapatnya di muka umum tanpa rasa takut dilaporkan.
Kemenangan itu semakin meneguhkan peran penting masyarakat sipil. Pasalnya, inisiatif gugatan berasal dari Haris Azhar dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Akibat dari gugatan itu, orang-orang kini merasa lebih leluasa untuk mengaktualisasikan hak berbicaranya.
Gugatan itu pun membenarkan studi yang baru-baru ini saya baca. Studi tersebut berjudul “How Constitutional Rights Matter” karya Adam Chiliton & Mila Versteeg.
Buku yang terbit pada 2020 ini bercerita tentang riset penegakan hak asasi manusia yang ada di dalam konstitusi.
Dalam buku ini, kedua sarjana itu menjelaskan peran penting organisasi untuk menegakkannya. Tanpa dukungan organisasi berdedikasi kuat, hak asasi yang tercantum dalam konstitusi sulit untuk ditegakkan.