Faktanya, kebijakan ambang batas parlemen telah menyebabkan suara yang diperoleh berapapun jumlahnya menjadi “hangus”, dan tidak bisa dikonversi menjadi kursi parlemen.
Hal ini menyebabkan hak konstitusional seorang calon anggota legislatif hilang, dan sangat bertentangan dengan prinsip representasi, proporsionalitas hasil pemilu, dan legitimasi anggota legislatif berdasarkan putusan Mahkamah No. 22-24/PUU-VI/2008.
Berdasarkan penetapan hasil Pemilu (pileg) 2024 oleh KPU (20/03/2024), perolehan suara minimal sebagai ambang batas parlemen yang harus dipenuhi oleh setiap parpol adalah 6.071.862 suara dari 151.796.630 total suara sah nasional.
Dengan ketentuan tersebut, parpol yang tidak lolos parliamentary threshold adalah Partai Persatuan Pembangunan/PPP (5.878.777 suara), Partai Solidaritas Indonesia/PSI (4.260.169 suara), Partai Perindo (1.955.154 suara), Partai Gelora (1.281.991 suara), Partai Hanura (1.094.588 suara), Partai Buruh (972.910 suara), Partai Ummat (642.545 suara), Partai Bulan Bintang/PBB (484.486 suara), dan Partai Kebangkitan Nusantara/PKN (326.800 suara).
Jika dijumlah, maka total suara dari parpol pada pemilu 2024 yang hangus, dan terbuang sia-sia sebanyak 17.304.303 (11 persen) suara sah nasional.
Hal yang sama juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2004 jumlah suara terbuang sebanyak 19.047.481 (18 persen) suara sah nasional.
Pada pemilu 2014 jumlah suara terbuang sebanyak 2.964.75 (2,4 persen) suara sah. Pada pemilu 2019 jumlah suara terbuang sebanyak 3.595.842 (9,7 persen) suara sah nasional.
Jika jumlah kursi DPR yang ditetapkan oleh UU adalah 575 kursi, maka satu kursi DPR hasil pemilu 2024 bernilai 263.994 suara.
Berdasarkan perhitungan kasar, maka jumlah kursi DPR yang “hilang/hangus” pada pemilu 2024 sekitar 60-an kursi. Jumlah kursi yang cukup besar untuk menghadirkan keterwakilan suara rakyat dan kedaulatan rakyat di parlemen.
Bentangan empirik tersebut, menurut Mahkamah, menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.
Prinsip demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, telah terciderai oleh kebijakan ambang batas parlemen, dan ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih.
Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
Atas dasar ketiga pertimbangan dan fakta tersebut di atas, Mahkamah sepakat bahwa kebijakan ambang batas parlemen jelas sekali telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya, tetapi suaranya tidak bisa diperhitungkan dalam pemerolehan kursi di parlemen.
Sekalipun jumlah suara yang diperoleh oleh seorang calon anggota legislatif memenuhi syarat keterpilihan. Suara rakyat menjadi sia-sia dan merupakan bentuk pengabaian atau pengingkaran terhadap suara rakyat yang nyata, sekalipun atas dasar argumen untuk menjaga prinsip pemilu proporsional.