Salin Artikel

Akhir Pertarungan Rezim Ambang Batas Parlemen di MK

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) sudah dilayangkan, menyoal beragam penyimpangan dan/atau pelanggaran yang terjadi selama Pemilu.

Semua fokus pada upaya untuk memperoleh pengakuan, dan jika dimungkinkan meraih kemenangan atas kasus yang diajukan dengan dalih “mencederai demokrasi”.

Cedera demokrasi, sesungguhnya bukan hanya soal adanya praktik penyimpangan atau pelanggaran pemilu. Suara rakyat yang hangus atau tidak terkonversi menjadi “kursi” di parlemen (DPR) karena tidak memenuhi ambang batas perolehan suara parlemen (parliamentary threshold) pun mencederai demokrasi, mencederai kedaulatan rakyat.

Namun hal ini tampak samar atau mungkin tenggelam dalam riuh-riak perdebatan pascapemilu.

Historisnya, ketentuan parliamentary threshold pertama kali digunakan pada pemilu 2009, menggantikan istilah electoral threshold yang digunakan pada pemilu sebelumnya.

Dalam Undang-Undang (UU) No. 7/2017 yang kemudian diubah dengan UU No. 7/2023, Pasal 414 Ayat (1) ambang batas parlemen ditetapkan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional.

Jika parpol tidak memenuhi syarat ambang batas tersebut, maka parpol tersebut tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Dengan demikian, calon anggota legislatif (DPR) dari parpol tersebut juga tidak bisa lolos dan ditetapkan sebagai anggota DPR (Pasal 415 Ayat (1)).

Parliamentary threshold dan penyederhanaan partai

Sejak 2009 itu pula, tercatat sebanyak 7 (tujuh) kali perkara pengujian terhadap UU (PUU) Pemilu di Mahkamah. Dari tujuh PUU tersebut, enam PUU dinyatakan “ditolak” seluruhnya atau sebagian, dan/atau tidak dapat diterima dengan beragam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah.

Argumen hukum penerapan ambang batas parlemen yang dibangun di dalam UU Pemilu dan disepakati oleh Mahkamah dalam sejumlah pertimbangan hukumnya, selalu dikaitkan dengan konsep “penyederhanaan sistem kepartaian” dan “proporsionalitas hasil pemilu”.

Bahwa penetapan ambang batas merupakan instrumen hukum dan politik untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen, sehingga terwujud kondisi politik nasional yang stabil.

Dengan catatan, selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas, hal tersebut menurut Mahkamah adalah konstitusional.

Kebijakan ambang batas parlemen dalam sistem politik multipartai Indonesia tidak melanggar konstitusi, karena kebijakan tersebut tetap memberikan kesempatan luas dan terbuka kepada setiap warga negara untuk membentuk parpol.

Karenanya, bagi Mahkamah, kebijakan tersebut dibolehkan oleh konstitusi sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang terkait politik penyederhanaan kepartaian, dan penguatan sistem presidensial yang lebih kuat, efektif, dan stabil.

Penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen diyakini tidak bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia terutama hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Banyak sedikitnya jumlah partai politik tidak dapat dijadikan tumpuan sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya negara.

Bahkan, jika terjadi kenaikan persentase ambang batas parlemen, maka anggota fraksi di parlemen akan semakin termotivasi untuk menjadi lebih maksimal dalam mewujudkan aspirasi Masyarakat.

Tiga argumen dan fakta

Perubahan pandangan Mahkamah terhadap kebijakan ambang batas parlemen terjadi pada putusan PUU No. 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perludem. Perkara ini merupakan ketujuh yang pernah diajukan ke Mahkamah.

Menurut Mahkamah, adanya dinamika ketersambungan antara suara pemilih dengan komposisi kursi di DPR, terutama apabila dikaitkan dengan kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum, maka sejumlah pertimbangan hukum terkait kebijakan penetapan ambang batas parlemen perlu ditinjau kembali.

Pertama, secara empirik kebijakan ambang batas parlemen tidak terbukti mampu mengurangi jumlah parpol di parlemen secara signifikan.

Pada pemilu 2009, dengan ambang batas 2,5 persen, ada sembilan parpol di parlemen. Pada pemilu 2014, dengan ambang batas dinaikkan menjadi 3,5 persen, jumlah parpol di parlemen bertambah menjadi 10 parpol.

Pada pemilu 2019, dengan ambang batas yang juga dinaikkan menjadi 4 persen jumlah parpol di parlemen masih ada 9 (sembilan) parpol.

Akhirnya pada pemilu 2024, dengan ambang batas 4 persen jumlah parpol di parlemen hanya berkurang satu menjadi delapan parpol.

Kedua, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017, tidak ditemukan dasar metode dan argumen teoretik, akademik, dan rasionalitas yang jelas dan memadai.

Tidak adanya basis teoritik dan akademik yang jelas, maka penetapan ambang bantas parlemen menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional, dan tidak memberikan kepastian hukum, oleh karenanya bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, kebijakan ini telah menyebabkan pelanggaran hak-hak sipil dan politik dan/atau kerugian konstitusional rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang diakui oleh Pasal 27 dan 28 Konstitusi RI.

Secara metodologis, penggunaan metode perhitungan konversi suara menjadi kursi parlemen ala Divisor varian Webster Sainte-Lague yang digunakan di Indonesia, selain rumit, tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang, dan dirancang untuk menguntungkan parpol besar, juga telah menciptakan disproporsionalitas dan derajat keterwakilan yang lebih rendah.

Ketiga, Pasal 415 Ayat (1) menyatakan bahwa jika parpol peserta pemilu tidak memenuhi syarat ambang batas, maka parpol tersebut tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, dan calon anggota legislatif (DPR) dari parpol tersebut juga tidak bisa lolos dan ditetapkan sebagai anggota DPR.

Ketentuan ini telah berdampak luas dan signifikan terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi di parlemen.

Dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas sistem pemilu di Indonesia, semestinya hal tersebut meminimalisasi suara rakyat yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.

Faktanya, kebijakan ambang batas parlemen telah menyebabkan suara yang diperoleh berapapun jumlahnya menjadi “hangus”, dan tidak bisa dikonversi menjadi kursi parlemen.

Hal ini menyebabkan hak konstitusional seorang calon anggota legislatif hilang, dan sangat bertentangan dengan prinsip representasi, proporsionalitas hasil pemilu, dan legitimasi anggota legislatif berdasarkan putusan Mahkamah No. 22-24/PUU-VI/2008.

Berdasarkan penetapan hasil Pemilu (pileg) 2024 oleh KPU (20/03/2024), perolehan suara minimal sebagai ambang batas parlemen yang harus dipenuhi oleh setiap parpol adalah 6.071.862 suara dari 151.796.630 total suara sah nasional.

Dengan ketentuan tersebut, parpol yang tidak lolos parliamentary threshold adalah Partai Persatuan Pembangunan/PPP (5.878.777 suara), Partai Solidaritas Indonesia/PSI (4.260.169 suara), Partai Perindo (1.955.154 suara), Partai Gelora (1.281.991 suara), Partai Hanura (1.094.588 suara), Partai Buruh (972.910 suara), Partai Ummat (642.545 suara), Partai Bulan Bintang/PBB (484.486 suara), dan Partai Kebangkitan Nusantara/PKN (326.800 suara).

Jika dijumlah, maka total suara dari parpol pada pemilu 2024 yang hangus, dan terbuang sia-sia sebanyak 17.304.303 (11 persen) suara sah nasional.

Hal yang sama juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2004 jumlah suara terbuang sebanyak 19.047.481 (18 persen) suara sah nasional.

Pada pemilu 2014 jumlah suara terbuang sebanyak 2.964.75 (2,4 persen) suara sah. Pada pemilu 2019 jumlah suara terbuang sebanyak 3.595.842 (9,7 persen) suara sah nasional.

Jika jumlah kursi DPR yang ditetapkan oleh UU adalah 575 kursi, maka satu kursi DPR hasil pemilu 2024 bernilai 263.994 suara.

Berdasarkan perhitungan kasar, maka jumlah kursi DPR yang “hilang/hangus” pada pemilu 2024 sekitar 60-an kursi. Jumlah kursi yang cukup besar untuk menghadirkan keterwakilan suara rakyat dan kedaulatan rakyat di parlemen.

Bentangan empirik tersebut, menurut Mahkamah, menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.

Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.

Prinsip demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, telah terciderai oleh kebijakan ambang batas parlemen, dan ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih.

Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

Perubahan kebijakan

Atas dasar ketiga pertimbangan dan fakta tersebut di atas, Mahkamah sepakat bahwa kebijakan ambang batas parlemen jelas sekali telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya, tetapi suaranya tidak bisa diperhitungkan dalam pemerolehan kursi di parlemen.

Sekalipun jumlah suara yang diperoleh oleh seorang calon anggota legislatif memenuhi syarat keterpilihan. Suara rakyat menjadi sia-sia dan merupakan bentuk pengabaian atau pengingkaran terhadap suara rakyat yang nyata, sekalipun atas dasar argumen untuk menjaga prinsip pemilu proporsional.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa kebijakan ambang batas parlemen sebagaimana norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017, adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally constitusional) untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029, dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Oleh karena itu, Mahkamah memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perubahan atas kebijakan ambang batas parlemen, dan harus telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu 2029.

Perubahan dilakukan dengan memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan, yaitu: pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan, tidak berubah-ubah setiap kali pemilu.

Kedua, tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

Ketiga, ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik. 

Keempat, melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/25/05484471/akhir-pertarungan-rezim-ambang-batas-parlemen-di-mk

Terkini Lainnya

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke