Banyak sedikitnya jumlah partai politik tidak dapat dijadikan tumpuan sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya negara.
Bahkan, jika terjadi kenaikan persentase ambang batas parlemen, maka anggota fraksi di parlemen akan semakin termotivasi untuk menjadi lebih maksimal dalam mewujudkan aspirasi Masyarakat.
Perubahan pandangan Mahkamah terhadap kebijakan ambang batas parlemen terjadi pada putusan PUU No. 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perludem. Perkara ini merupakan ketujuh yang pernah diajukan ke Mahkamah.
Menurut Mahkamah, adanya dinamika ketersambungan antara suara pemilih dengan komposisi kursi di DPR, terutama apabila dikaitkan dengan kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum, maka sejumlah pertimbangan hukum terkait kebijakan penetapan ambang batas parlemen perlu ditinjau kembali.
Pertama, secara empirik kebijakan ambang batas parlemen tidak terbukti mampu mengurangi jumlah parpol di parlemen secara signifikan.
Pada pemilu 2009, dengan ambang batas 2,5 persen, ada sembilan parpol di parlemen. Pada pemilu 2014, dengan ambang batas dinaikkan menjadi 3,5 persen, jumlah parpol di parlemen bertambah menjadi 10 parpol.
Pada pemilu 2019, dengan ambang batas yang juga dinaikkan menjadi 4 persen jumlah parpol di parlemen masih ada 9 (sembilan) parpol.
Akhirnya pada pemilu 2024, dengan ambang batas 4 persen jumlah parpol di parlemen hanya berkurang satu menjadi delapan parpol.
Kedua, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017, tidak ditemukan dasar metode dan argumen teoretik, akademik, dan rasionalitas yang jelas dan memadai.
Tidak adanya basis teoritik dan akademik yang jelas, maka penetapan ambang bantas parlemen menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional, dan tidak memberikan kepastian hukum, oleh karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, kebijakan ini telah menyebabkan pelanggaran hak-hak sipil dan politik dan/atau kerugian konstitusional rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang diakui oleh Pasal 27 dan 28 Konstitusi RI.
Secara metodologis, penggunaan metode perhitungan konversi suara menjadi kursi parlemen ala Divisor varian Webster Sainte-Lague yang digunakan di Indonesia, selain rumit, tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang, dan dirancang untuk menguntungkan parpol besar, juga telah menciptakan disproporsionalitas dan derajat keterwakilan yang lebih rendah.
Ketiga, Pasal 415 Ayat (1) menyatakan bahwa jika parpol peserta pemilu tidak memenuhi syarat ambang batas, maka parpol tersebut tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, dan calon anggota legislatif (DPR) dari parpol tersebut juga tidak bisa lolos dan ditetapkan sebagai anggota DPR.
Ketentuan ini telah berdampak luas dan signifikan terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi di parlemen.
Dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas sistem pemilu di Indonesia, semestinya hal tersebut meminimalisasi suara rakyat yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.