Sukidi merujuk pada pendapat Steven Levitski dan Daniel Zibllat (2018) yang menyebut, democracy’s assasins.
Kritik mengenai demokrasi, konstitusi, etika dan moral memang terasa keras. Namun, sepertinya tak ada sepenuhnya terdengar.
Partai politik merasa bangga dengan capaian hasil pemilu yang menyebutkan, suara rakyat, suara Tuhan.
Rakyat telah bersuara melalui pemilu. Organisasi masyarakat yang biasanya kritis pun, tak terdengar suaranya. Bahkan, cenderung memberikan legitimasi. Diam adalah pilihan politik ketika bersuara punya risiko.
Seorang menteri senior di pemerintahan merasa jengkel dengan para kritikus. Bahkan, dia menyarankan – entah serius atau berkelakar – untuk keluar saja dari Indonesia jika terus mengkritik.
Bangsa ini tampaknya, kini dan saat ini, sedang terperangkap pada pembelahan aspirasi (divided aspiration) tiga lapis. Kelas atas yang mendominasi penguasaan ekonomi, punya atensi besar pada stabilitas politik, iklim bisnis dan kesinambungan.
Kelas menengah, sebagian kampus, dan sejumlah elite dan aktivis masyarakat sipil, menaruh perhatian pada isu demokrasi, konstitusi, etika, moral, dan korupsi.
Kelompok ini merasa gusar dengan merebaknya nepotisme tanpa rasa malu, pengesampingan konstitusi, rule of law serta etika dan moralitas.
Keprihatinan ini direspons dengan apa yang disebut cooling system dengan mengembangkan narasi tandingan. Dalam situasi post-truth, situasi ini menimbulkan kebingungan di akar rumput.
Pada tatanan ini orang rindu pada sosok pengusaha-aktivis Arifin Panigoro. Arifin, seorang pengusaha, jadi motor pendobrak Orde Baru karena jiwa aktivismenya.
Arifin meninggal 22 Februari 2022. Kini, yang aktivis hanya sekadar aktivis yang tak punya sumber dana. Yang pengusaha hanya pengusaha yang tak punya spirit aktivisme. Tak ada yang menjadi kanal atau penghubung antarkelas.
Keprihatinan kelas menengah hampir tak berkait dengan keprihatinan di level bawah. Massa akar rumput berjibaku dengan mahalnya kebutuhan bahan pokok termasuk beras, kesulitan mencari kerja, susahnya mengakses fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan yang tak memadai dengan IQ rata-rata 78.
Keprihatinan massa akar rumput ini dijawab dengan program bantuan populis seperti bansos, politik uang dan program makan siang gratis.
Partai politik kian teralienasi dengan rakyatnya. Hampir tak terdengar suara-suara elite politik yang menjawab keprihatinan akar rumput ataupun keprihatinan kelas menengah.
Parpol lebih memikirkan bagaimana membeli suara rakyat untuk mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan, apakah di eksekutif ataupun legislatif.
Ketika pola membeli suara rakyat dibenarkan atau dinormalisasi, maka pada akhirnya demokrasi memang akan mati. Akan ada pola membeli suara rakyat menjadi membeli Indonesia dan itu ada kemenangan kapital.
Gejala ini dikhawatirkan seorang anggota DPR kepada saya. Ia memang tak terpilih lagi. Namun ia menangkap gejala industri demokrasi sekarang ini bisa menjadi industri mega korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan di industri politik.
Mereka yang memberi lebih banyak, mereka yang akan dipilih. Suara itu banyak terdengar dan kian nyaring.
Suasana kebatinan itu terasa. Meski tak banyak orang berani bersuara. Dalam situasi kebatinan itulah, transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus disiapkan agar tidak mengoncang stabilitas politik.
Perkembangan global, geopolitik global, dan tren global dengan kemunculan pemimpin authoritarian-populist sedang menjadi tren yang sedang mengemuka.
Transisi kekuasaan perlu dilakukan tahap demi tahapan sejak MK memutuskan sengketa Pemilu 23 April 2024. Syukur-syukur kalau bisa mencapai coalition of ideas untuk merestorasi Indonesia guna memperbaiki negeri.
Sayangnya bangsa ini belum memiliki aturan atau tata laksana soal periode transisi kekuasaan yang seharusnya diatur dalam UU Lembaga Kepresidenan.