JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi Arsul Sani disebut belum juga mengajukan hak ingkar untuk tidak menangani sengketa pemilihan umum (pemilu) yang melibatkan partai yang membesarkan namanya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Belum secara tegas dia ngomong (tidak mau menangani sengketa pemilu melibatkan PPP). Secara formal belum. Jadi saya belum bisa menjawab secara pasti," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo kepada wartawan pada Selasa (19/3/2024).
Hingga saat ini, MK juga belum menetapkan batasan-batasan bagi Arsul Sani yang berlatar belakang politikus itu dalam menangani sengketa-sengketa pemilu. Termasuk, apakah Arsul dilarang menangani sengketa melibatkan PPP saja atau juga menangani sengketa pemilihan presiden (pilpres).
"Itu pertanyaannya belum terjawab, nanti dirapatkan. Kalau (menyangkut) Pak Arsul, nanti dirapatkan dulu," kata Suhartoyo.
Baca juga: MK Segera Bahas Status Arsul Sani Tangani Sengketa Hasil Pemilu
Arsul Sani merupakan hakim teranyar MK yang baru dilantik pada 18 Januari 2024.
Dia duduk di MK dengan latar belakang sebagai elite PPP, partai peserta Pemilu 2024 yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada pilpres tahun ini.
Suhartoyo mengatakan, pihaknya baru melakukan pembicaraan dengan Majelis Kehormatan MK (MKMK) pada 5 Februari 2024.
"Bisa diajukan (untuk dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim, RPH) beberapa hari nanti," ujarnya pada Rabu, 6 Februari 2024.
Sebagai informasi, sebelum resmi mengucapkan sumpah, Arsul Sani merupakan politikus PPP. Terakhir, dia duduk di Komisi III DPR RI dari fraksi PPP.
Baca juga: Proses Sengketa Pemilu Berlangsung Jelang Lebaran, Pegawai MK Disumpah Tak Boleh Terima Apa Pun
Sebelumnya, juru bicara hakim MK, Enny Nurbaningsih, menyebutkan bahwa Mahkamah belajar dari persoalan benturan kepentingan yang membuat eks Ketua MK Anwar Usman dicopot dari jabatannya karena terbukti melakukan pelanggaran etika berat.
Menurut Enny, konflik kepentingan itu bisa berupa hubungan semenda dan sedarah yang memang diatur atau "hubungan emosional", meskipun hakim yang bersangkutan telah mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi untuk bersetia kepada UUD 1945.
"Itu sudah komitmen kami kalau ada kaitan dengan hal-hal yang masih berkaitan dari sisi undang-undang maupun emosionalnya itu menjadi bahan pertimbangannya," kata Enny.
"Sesuai dengan pakta integritas yang sudah kami sepakati, jadi kami memang menghindari sedemikian rupa yang namanya konflik kepentingan sepanjang kemudian tidak sampai kurang dari tujuh (hakim yang mengadili perkara). Minimal kan tujuh," ujarnya lagi.
Baca juga: MK Segera Putuskan Arsul Sani Boleh Adili Sengketa Pemilu Terkait PPP atau Tidak
Dia menyampaikan, sepanjang ada hubungan yang kemudian menyangkut konflik kepentingan di situ, sudah otomatis asasnya seorang hakim harus mengundurkan diri dari perkara.
"Otomatis paling tidak dipindah panelnya, dia tidak akan menyelesaikan panel yang berkaitan dengan PPP," kata Enny.
Dalam beberapa kesempatan, Arsul Sani menyatakan bahwa dirinya sudah mundur dari PPP dan firma hukumnya.
Arsul juga menyatakan ingin tidak terlibat mengadili sengketa pemilu legislatif (pileg) menyangkut PPP. Tetapi, dia tidak menyatakan keinginan serupa untuk sengketa pilpres.
Dia beralasan, Ganjar maupun Mahfud bukan kader PPP. Lalu, keterlibatan PPP mengusung Ganjar-Mahfud merupakan hasil dari kewajiban UU Pemilu bahwa partai politik yang ikut pemilu sebelumnya harus ikut mengusung salah satu capres-cawapres pada pemilu berikutnya.
Baca juga: Jadi Hakim MK, Arsul Sani Tegaskan Sudah Mundur dari MPR, PPP, dan Peradi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.