Perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini juga disebabkan penegasan kembali kekuasaan partai di dalam bidang ekonomi, yang membuat investasi asing melambat, lalu menekan kontribusi investasi dan ekspor China, yang kemudian berimbas kepada kinerja ekonomi makro negeri Tirai bambu tersebut.
Artinya apa? Artinya, kawasan ekonomi bisnis Jakarta harus dibebaskan dari permainan kekuasaan pemerintah pusat, dalam bentuk apapun.
Daerah Khusus Jakarta (DKJ) harus dikembalikan ke dalam bentuk daerah provinsi pada umumnya, di mana pemimpinnya dipilih oleh rakyat Jakarta dan berkembang berdasarkan aspirasi kepentingan ekonomi rakyat Jakarta di satu sisi dan institusi ekonominya mengikut kepada konsep kawasan ekonomi khusus di sisi lain.
Dengan begitu, para pelaku bisnis dan pemodal merasa lebih nyaman berusaha dan menanam modal di Jakarta, karena aturan mainnya tidak berlapis-lapis.
Urusan bisnis cukup sampai Jakarta saja, tidak perlu sampai ke pemegang kuasa di IKN di Kalimantan sana. Jika aturan mainnya tidak demikian, bukankah hal itu akan sangat menyulitkan dan menambah komplikasi persoalan?
Apalagi sempat pula beredar wacana bahwa nantinya Jakarta yang berubah status dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi DKJ akan dipimpin oleh seorang gubernur yang ditunjuk langsung oleh presiden. Semakin terdengar lucu dan kompleks.
Lihat saja New York. Gubernurnya tetap dipilih oleh rakyat New York, meskipun Ibu Kota Amerika Serikat sudah lama pindah ke Washington DC.
Dengan dibebaskannya New York dari cengkeraman Gedung Putih, New York justru kian hari kian besar secara ekonomi dan bisnis.
New York semakin mengokohkan diri sebagai pusat keuangan dunia, pusat penyebaran pengaruh mata uang dollar AS ke seluruh penjuru bumi, dan menjadi salah satu megacity yang paling banyak dikunjungi para turis mancanegara.
Hal itu bisa terjadi karena Washington DC tidak mengubah struktur dan model kekuasaan di New York. Washington DC tetap membiarkan New York berjalan layaknya negara bagian lainnya di Amerika Serikat, tanpa campur tangan khusus dalam bentuk "titipan kekuasaan" pusat di daerah.
Hal yang sama terjadi antara Sydney dan Canberra di Australia atau Putrajaya dan Kuala Lumpur di Malaysia, misalnya.
Lihat saja, pusat ekonomi bisnis dan keuangan di Australia bukanlah Canberra, tapi tetap Sydney. Dengan konsep yang sama, Melbourne juga ikut berkembang pesat.
Di Malaysia juga sama. Pusat keuangan Malaysia berkembang pesat di Kuala Lumpur, bukan di Putrajaya.
Dengan kata lain, tak ada urgensinya para calon penguasa politik di IKN "cawe-cawe" lagi di Jakarta.
Cukup diikat saja dengan aturan main Daerah Khusus Jakarta dengan konsep kawasan khusus ekonomi yang memiliki aturan main spesifik pada urusan ekonomi bisnis. Itu saja sudah cukup.