Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kembalikan Jakarta kepada Warganya

Kompas.com - 17/03/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ARGUMENTASI pemerintah tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan mantan ibu kota yang ditinggalkan cenderung kontradiktif.

Di satu sisi, ancaman Jakarta "tenggelam" dijadikan argumentasi environmental mengapa Jakarta harus ditinggalkan.

Namun di sisi lain, pemerintah bertekad menjadikan Jakarta sebagai kawasan ekonomi bisnis yang diperluas sampai ke Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi) dan diwacanakan akan diposisikan di bawah wewenang dewan pengelola yang ditunjuk oleh presiden ataupun langsung berada di bawah wakil presiden.

Jadi pemerintah ingin meninggalkan Jakarta sebagai ibu kota, namun tak mau melepaskan cengkeramannya dari Jakarta secara politik dan kekuasaan. Sangat kontradiktif.

Padahal jika ingin Jakarta berkembang pesat sebagai kawasan ekonomi bisnis pascaditinggalkan, maka idealnya Jakarta harus diberi keleluasaan secara bisnis dan ekonomi.

Cengkeraman politik hanya akan membebani Jakarta, karena akan membuat Jakarta bukan lagi sebagai kawasan ekonomi bisnis, tapi kawasan ekonomi politik di mana aktor-aktor kekuasaan masih ingin mengais modal dan mempratikkan hasrat kuasanya di Jakarta.

Lalu jejaring oligarki lama justru akan semakin bertahan dan berkembang pesat. Pastinya akan buruk untuk masyarakat Jakarta.

Logika sederhananya, tidak akan ada kawasan ekonomi bisnis dan kawasan komersial yang berkembang pesat jika jejaring kekuasaan tetap ditancapkan. Jejaring oligarki akan menguasai kawasan tersebut dan akan membebani perkembangan ekonominya.

Di negara yang memiliki sistem kekuasaan monolitik seperti China, kawasan ekonomi khusus dibutuhkan untuk membebaskan para pemilik modal berkembang di luar cengkeraman kekuasaan politik.

Kawasan khusus tersebut didesain oleh China dengan konsep "sangkar burung" atau "bird cage".

Konsep ini adalah rekonsiliasi antara kubu reformis yang dipimpin oleh Deng Xiaoping dengan kubu konservatif yang dikepalai oleh Chen Yun.

Dalam konsep ini, "kapitalisme" diasumsikan dengan burung dan sosialisme diasumsikan dengan sangkar. Jadi burung dibebaskan sebebas-bebasnya di dalam sangkar, tapi tidak bisa seperti itu di luar sangkar.

Artinya, di dalam kawasan ekonomi bisnis, aturan main pasar harus dikedepankan, bukan aturan main politik. Karena itulah kawasan bisa berkembang pesat, yang membuat China menjadi raksasa ekonomi seperti hari ini.

Perusahaan-perusahaan besar dan pemodal-pemodal besar dari Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Korea, dan lainnya masuk dengan sangat nyaman di kawasan ekonomi khusus, tanpa khawatir ‘dibantai’ secara politik oleh kekuasaan partai.

Walhasil, ekonomi China memang tumbuh atas kontribusi besar dari investasi asing, hingga hari ini.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com