Jadi jika kandidat yang didukung Istana ternyata harus kalah, Jokowi dan Istana masih bisa menerimanya karena masih ada Ahok dan Ganjar di Jakarta, ketimbang harus menerima Anies.
Apalagi, raihan suara PDIP di tahun 2024 di Jakarta tidak memadai untuk mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Raihan 15 kursi DPRD memang tak cukup. PDIP memerlukan kawan koalisi untuk mendapatkan 7 kursi lagi. Partai tersisa hanya PKS. Itupun jika PKS bersedia mendukung Ahok.
Karena itu dibutuhkan sosok Ahok yang didukung oleh Jokowi, agar partai politik seperti PPP atau partai lainnya di barisan pemenang pemilu 2024 bisa menemani PDIP alias tidak takut mendukung Ganjar - Ahok untuk Jakarta Satu.
Kepercayaan Jokowi kepada Ahok akan menjadi kunci bagi PDIP dalam mendapatkan kawan berkoalisi, dengan asumsi PKS tidak sejalan dengan PDIP dan Ahok.
Nah, jika Ganjar bisa memenangkan posisi Jakarta satu, maka peluang Ganjar untuk bertahan sebagai capres potensial di tahun 2029 sangat besar.
Eksistensi Ganjar di ranah politik nasional akan terjaga selama lima tahun ke depan. Sorot media akan selalu didapat tanpa diminta.
Dan yang paling utama, Ganjar bisa mewujudkan ide-idenya di Jakarta, membuat Jakarta tetap sebagai pusat ekonomi dan bisnis setelah ibu kota pindah ke Kalimantan, sebelum dibawa ke ranah nasional.
Artinya, Ganjar akan meniti jalan layaknya Jokowi. Berpasangan dengan Ahok sebelum kembali ke ranah nasional. Lalu jika berhasil di laga 2025, Ganjar akan menitipkan Jakarta kepada Ahok layaknya Jokowi di tahun 2014.
Pun kesempatan terbaik bagi Ahok sebenarnya hanyalah sampai Jakarta satu. Karena untuk ke Istana, banyak kalkulasi politik yang harus dilakukan, baik oleh Ahok sendiri maupun oleh partai politik pendukung.
Namun secara teknis, Ganjar akan seperti Anies, yakni berperang dingin dengan Istana yang jaraknya tak jauh dari kantor Gubernur Jakarta. Menjaga harmoni dengan Istana, tapi tetap mampu berkreasi dengan berbagai kebijakan di level provinsi.
Ganjar bisa menjadi pioner berbagai inovasi kebijakan di Jakarta untuk membuat Istana atau Ibukota Negara Nusantara (IKN) tetap terlihat jauh tertinggal di belakang, tanpa harus berperang terbuka dengan punggawa Istana.
Dalam posisi itu, Ganjar semestinya bisa membuat Jakarta tetap bersinar layaknya kota New York di negeri Paman Sam, yang dikenal sebagai pusat bisnis dan keuangan, meskipun pusat pemerintahan berada di Washington DC.
Opsi ini adalah opsi yang paling masuk akal bagi Ganjar, jika memang ingin mempertahankan sinarnya selama lima tahun ke depan sebagai modal mumpuni untuk bertarung ulang dengan trah Jokowi di tahun 2029 nanti.
Artinya, opsi ini hanya berlaku jika Ganjar memang tetap ingin maju di tahun 2029. Jika tidak, tentu ceritanya akan lain lagi.
Memang tak mudah bagi Ganjar untuk bertempur di tahun 2029, mengingat cengkeraman kuasa Prabowo - Gibran sebagai incumbent dipastikan akan semakin kuat.
Namun dengan tetap menyala dan bersinar di Jakarta, tentunya Ganjar masih bisa terkoneksi secara langsung dengan masyarakat pemilih di seluruh Indonesia dan membangun kedekatan langsung dengan rakyat.
Karena cara terbaik dalam mengalahkan incumbent yang bergelimang kuasa adalah dengan cara membangun kedekatan sedekat-dekatnya dengan rakyat pemilih. Rakyat adalah pemegang mandat yang paling berhak menyingkirkan penguasa dari takhtanya.
Pun bagi PDIP, opsi menguasai Jakarta adalah jalan terbaik untuk menjadi oposisi yang bisa mengancam Jokowi-Prabowo-Gibran di Istana.
Apalagi, dengan waktu Pilkada serentak yang semakin mendekat, PDIP semestinya sudah mulai fokus pada penyiapan calon-calon kepala daerah, bersamaan dengan penyiapan Ganjar - Ahok di Jakarta.
Karena penguasaan kepala-kepala daerah akan sangat membantu PDIP dalam menguasai arena elektoral di tahun 2029 kelak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.