Tepatnya pada 27 Oktober 2014, Anies dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Surya Paloh bisa kembali ke ranah politik dengan daya tawar yang lumayan baik setelah hengkang dari Partai Golkar adalah karena gerakan ormas Nasional Demokrat yang didirikan pada 2010 berubah menjadi partai politik (Partai Nasdem).
Lalu Nasdem berhasil ikut menjual nama Jokowi yang membuatnya memenuhi Parliamentary Threshold dan mengukuhkan diri sebagai partai parlementer.
Jadi bisa saja Anies dan Ganjar menginisiasi gerakan masyarakat sipil yang gigantis, katakanlah karena didukung oleh jutaan pemilihnya, tapi jika itu hanya bergerak di ranah gerakan sosial dan gerakan masyarakat sipil, maka tidak akan berpotensi membesarkan modalitas politik keduanya untuk menyongsong pemilihan umum 2029 nanti.
Kegiatan pada gerakan semacam itu sangat terbatas dan waktunya tidak berkelanjutan. Ruang lingkup dan daya gedornya kurang signifikan.
Sorot media hanya bisa didapat di saat aktifitas masif tertentu di waktu tertentu pula. Itupun magnitud dan radiasi politiknya sangat terbatas.
Tentu tidak ada larangan untuk berkegiatan semacam itu. Bagaimana pun inisiasi gerakan sosial ataupun gerakan moral adalah bentuk kontribusi kepada bangsa dan negara juga, plus bentuk tindakan nyata seseorang dalam menjaga sinarnya di ruang publik.
Cuma persoalannya, untuk bertahan sebagai calon presiden di pemilihan tahun 2029 nanti, nampaknya sangat tidak memadai.
Lantas apa opsi terbaik bagi kedua anak bangsa yang masih termasuk muda dan masih haus mengabdi ini?
Menurut hemat saya, opsi terbaik adalah kembali ke jabatan publik, tapi bukan menjadi menteri alias bukan bagian dari pemerintah pusat yang dipimpin oleh Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Jabatan publik tersebut adalah Gubernur Jakarta.
Bagi Anies, nampaknya kansnya secara elektoral masih ada. Cuma masalahnya masih adakah partai politik yang bersedia mengusung Anies di Jakarta, dengan ruang rivalitas politik yang semakin luas baginya.
Dulu Anies maju di DKI Jakarta dengan dukungan penuh dari Partai Gerindra dan PKS. Namun saat ini, dukungan dari Partai Gerindra akan nihil dan rivalitas dengan trah Jokowi semakin meninggi pasca-Pilpres 2024.
Dukungan dari PKS boleh jadi tetap ada, tapi PKS akan berkoalisi dengan siapa? Kans terbesar adalah PDIP. Namun PDIP nampaknya masih sulit untuk memberikan dukungan kepada Anies, selama Ahok masih berada di dalam PDIP di satu sisi dan selama Jokowi belum dipecat secara resmi dari partai banteng moncong putih tersebut.
Mengharapkan Partai Nasdem rasanya cukup sulit. Nasdem akan sangat berpotensi menyelamatkan kepentingan politiknya di level nasional dengan memilih bergabung dengan pemenang, ketimbang berjuang di kancah Pilgub Jakarta yang akan mempersulit posisi Partai Nasdem di kancah Nasional.
Pun nampaknya Partai Nasdem sudah memiliki kandidat sendiri yang bisa diterima Istana, seperti Ahmad Sahroni, misalnya.
Begitu pula dengan PKB dan Cak Imin. Sejarah PKB adalah sejarah sebagai bagian dari penguasa. Besar kemungkinan PKB pun akan berlabuh di Istana, ketimbang tetap berkawan dengan Anies untuk merebut Jakarta Satu.
Karena langkah mendukung Anies di Jakarta tersebut akan berpotensi membuat PKB gagal masuk ke Istana, di mana Prabowo dan Jokowi sudah berada pada posisi alergi kepada Anies Baswedan.
Namun bagi Ganjar Pranowo, opsi ke Jakarta Satu sangat mungkin diambil. PDIP memiliki track record bagus sebagai partai oposisi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Untuk membuat status oposisi PDIP semakin greget, merebut DKI Satu dari tangan penguasa Istana atau mengalahkan kandidat yang didukung Istana akan menjadi prestasi tersendiri.
Dan untuk mematangkan opsi tersebut agar lebih masuk akal secara elektoral, PDIP bisa memasangkan Ganjar Pranowo dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju merebut Jakarta Satu.
Pasangan Ganjar dan Ahok sangat berpeluang mengalahkan siapapun yang akan dimajukan oleh partai politik lain, baik oleh Partai Nasdem atau oleh Istana.
Di satu sisi, Ganjar sudah memiliki nama yang bagus di ruang publik nasional, terutama di pusat pusaran politik Jakarta.
Sementara di sisi lain, Ahok pun demikian. Ahok masih memiliki ceruk pemilih yang loyal di Jakarta. Jika keduanya digabung, potensinya untuk merebut Jakarta Satu cukup besar.
Selain itu, Ahok masih bisa diterima oleh Jokowi. Jadi Ahok bisa menjadi jembatan bagi Jokowi untuk tetap menjaga relasi baik dengan PDIP di satu sisi dan memberikan dukungan yang tertunda kepada Ganjar di sisi lain.