Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mengapa Ganjar-Ahok Sebaiknya Merebut Jakarta Satu?

Kompas.com - 14/03/2024, 06:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH tak lagi menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi pada awal 2016, nama Anies Baswedan hilang dari peredaran. Namanya kembali ke permukaan setelah Anies Baswedan menyatakan maju sebagai calon Gubernur Jakarta di awal tahun 2017.

Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa posisi sebagai Gubernur Jakarta selama 2017-2022 adalah modalitas politik yang sangat berharga bagi Anies Baswedan untuk kembali bersinar di dunia politik dan menapaki jalan menuju status calon presiden di laga pemilihan presiden 2024.

Tentu sangat bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan Anies jika tidak terpilih sebagai Gubernur Jakarta 2017 lalu. Boleh jadi Anies akan kembali ke kampus dan lepas dari hiruk pikuk politik.

Namanya mungkin bertambah besar dengan portofolio profesional yang pernah menjadi menteri, tapi tidak sebagai seorang tokoh politik.

Begitu pula dengan Ganjar Pranowo. Portofolio politiknya sebagai Gubernur Provinsi Jawa Tengah selama dua periode, 2013 - 2023, adalah modalitas politik yang membawanya menjadi calon presiden dari PDIP pada laga elektoral 2024.

Tanpa portofolio politik tersebut, boleh jadi bermimpi menjadi capres pun Ganjar rasanya sulit.

Artinya, jika Ganjar bertahan sebagai anggota DPR selama sepuluh tahun ke belakang, sudah hampir bisa dipastikan bahwa Puan Maharani yang menjadi capres PDIP di laga Pilpres tempo hari.

Begitulah kira-kira besarnya peran jabatan publik sebagai gubernur bagi Ganjar dan Anies.

Lantas pertanyaannya, setelah mengalami kekalahan telak di laga Pilpres 2024, bagaimana sinar Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan akan tetap bertahan, jika tak memegang portofolio politik lagi?

Tentu agak sulit dibayangkan keduanya akan kembali maju sebagai capres di laga elektoral 2029 nanti, jika lima tahun ke depan mereka mengalami kevakuman peran politik.

Sementara keduanya adalah pribadi yang potensial untuk melanjutkan kepemimpinan nasional. Visi misi mereka masih layak mendapat tempat di dalam percaturan ide tentang bagaimana membangun Indonesia yang baik dan tangguh di tahun-tahun mendatang.

Opsi pertama tentu menjadi ketua partai politik. Dalam kacamata umum, opsi ini bisa berlaku untuk Ganjar Pranowo. Namun secara khusus, Ganjar nampaknya tidak memiliki peluang untuk itu, selama Ganjar bertahan sebagai kader PDIP.

Pertama, Ganjar bukanlah bagian dari trah Sukarno. Kedua, selama ini Ganjar bukanlah seorang organisatoris ulung PDIP.

Dukungan internal yang beliau terima belakangan ini lebih menggambarkan implikasi dari raihan elektoralnya di survei-survei terdahulu sebelum Pilpres 2024, bukan sebagai imbas dari kelihaian beliau dalam bermanuver politik di antara elite-elite PDIP.

Ketiga, Ganjar bukanlah politisi dengan modal berlimpah, karena beliau bukanlah politisi pengusaha atau pengusaha politisi.

Ganjar adalah politisi karier yang menggantungkan hidup dari pekerjaan politik murni, baik sebagai anggota parlemen maupun sebagai gubernur.

Jadi dengan tiga persoalan di atas, opsi menjadi ketua partai politik bagi Ganjar Pranowo nyaris nihil, jika Ganjar masih menjadi kader PDIP.

Boleh jadi masih ada peluang untuk menjadi Wakil Ketua Umum di PDIP. Namun posisi tersebut tidak akan terlalu mampu menjaga sinar Ganjar. Apalagi, posisi Waketum biasanya dijabat oleh banyak tokoh dan elite partai alias bukan satu jabatan tunggal layaknya Ketua Umum.

Sementara Bagi Anies Baswedan nampaknya juga sama. Berlatar profesional selama menjadi menteri dan "diminta" menjadi capres oleh partai tanpa menjadi kader partai tersebut membuat Anies sangat sulit untuk bercita-cita menjadi ketum partai.

Pun sama dengan Ganjar, Anies bukanlah pengusaha politik yang bisa menukar jabatan ketum partai medioker dengan segepok uang.

Opsi lainnya, misalnya, membuat gerakan sosial politik yang bertujuan menguatkan kesadaran demokratis masyarakat.

Opsi ini sangat mungkin dilakukan. Berlatar capres tahun 2024, baik Ganjar maupun Anies bisa saja menginisiasi gerakan sosial politik nonpartai, namun persoalannya magnitud gerakan semacam itu tidak akan terlalu besar.

Gerakan Indonesia Mengajar ala Anies hanya mampu membawanya ke posisi menteri. Itupun setelah Anies memilih menjadi bagian tim sukses Jokowi di tahun 2014 lalu.

Jika Anies tak melibatkan diri secara aktif sebagai tim sukses, rasanya Anies tak akan dipilih menjadi menteri di dalam kabinet Jokowi.

Tepatnya pada 27 Oktober 2014, Anies dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Surya Paloh bisa kembali ke ranah politik dengan daya tawar yang lumayan baik setelah hengkang dari Partai Golkar adalah karena gerakan ormas Nasional Demokrat yang didirikan pada 2010 berubah menjadi partai politik (Partai Nasdem).

Lalu Nasdem berhasil ikut menjual nama Jokowi yang membuatnya memenuhi Parliamentary Threshold dan mengukuhkan diri sebagai partai parlementer.

Jadi bisa saja Anies dan Ganjar menginisiasi gerakan masyarakat sipil yang gigantis, katakanlah karena didukung oleh jutaan pemilihnya, tapi jika itu hanya bergerak di ranah gerakan sosial dan gerakan masyarakat sipil, maka tidak akan berpotensi membesarkan modalitas politik keduanya untuk menyongsong pemilihan umum 2029 nanti.

Kegiatan pada gerakan semacam itu sangat terbatas dan waktunya tidak berkelanjutan. Ruang lingkup dan daya gedornya kurang signifikan.

Sorot media hanya bisa didapat di saat aktifitas masif tertentu di waktu tertentu pula. Itupun magnitud dan radiasi politiknya sangat terbatas.

Tentu tidak ada larangan untuk berkegiatan semacam itu. Bagaimana pun inisiasi gerakan sosial ataupun gerakan moral adalah bentuk kontribusi kepada bangsa dan negara juga, plus bentuk tindakan nyata seseorang dalam menjaga sinarnya di ruang publik.

Cuma persoalannya, untuk bertahan sebagai calon presiden di pemilihan tahun 2029 nanti, nampaknya sangat tidak memadai.

Lantas apa opsi terbaik bagi kedua anak bangsa yang masih termasuk muda dan masih haus mengabdi ini?

Menurut hemat saya, opsi terbaik adalah kembali ke jabatan publik, tapi bukan menjadi menteri alias bukan bagian dari pemerintah pusat yang dipimpin oleh Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Jabatan publik tersebut adalah Gubernur Jakarta.

Bagi Anies, nampaknya kansnya secara elektoral masih ada. Cuma masalahnya masih adakah partai politik yang bersedia mengusung Anies di Jakarta, dengan ruang rivalitas politik yang semakin luas baginya.

Dulu Anies maju di DKI Jakarta dengan dukungan penuh dari Partai Gerindra dan PKS. Namun saat ini, dukungan dari Partai Gerindra akan nihil dan rivalitas dengan trah Jokowi semakin meninggi pasca-Pilpres 2024.

Dukungan dari PKS boleh jadi tetap ada, tapi PKS akan berkoalisi dengan siapa? Kans terbesar adalah PDIP. Namun PDIP nampaknya masih sulit untuk memberikan dukungan kepada Anies, selama Ahok masih berada di dalam PDIP di satu sisi dan selama Jokowi belum dipecat secara resmi dari partai banteng moncong putih tersebut.

Mengharapkan Partai Nasdem rasanya cukup sulit. Nasdem akan sangat berpotensi menyelamatkan kepentingan politiknya di level nasional dengan memilih bergabung dengan pemenang, ketimbang berjuang di kancah Pilgub Jakarta yang akan mempersulit posisi Partai Nasdem di kancah Nasional.

Pun nampaknya Partai Nasdem sudah memiliki kandidat sendiri yang bisa diterima Istana, seperti Ahmad Sahroni, misalnya.

Begitu pula dengan PKB dan Cak Imin. Sejarah PKB adalah sejarah sebagai bagian dari penguasa. Besar kemungkinan PKB pun akan berlabuh di Istana, ketimbang tetap berkawan dengan Anies untuk merebut Jakarta Satu.

Karena langkah mendukung Anies di Jakarta tersebut akan berpotensi membuat PKB gagal masuk ke Istana, di mana Prabowo dan Jokowi sudah berada pada posisi alergi kepada Anies Baswedan.

Namun bagi Ganjar Pranowo, opsi ke Jakarta Satu sangat mungkin diambil. PDIP memiliki track record bagus sebagai partai oposisi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Untuk membuat status oposisi PDIP semakin greget, merebut DKI Satu dari tangan penguasa Istana atau mengalahkan kandidat yang didukung Istana akan menjadi prestasi tersendiri.

Dan untuk mematangkan opsi tersebut agar lebih masuk akal secara elektoral, PDIP bisa memasangkan Ganjar Pranowo dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju merebut Jakarta Satu.

Pasangan Ganjar dan Ahok sangat berpeluang mengalahkan siapapun yang akan dimajukan oleh partai politik lain, baik oleh Partai Nasdem atau oleh Istana.

Di satu sisi, Ganjar sudah memiliki nama yang bagus di ruang publik nasional, terutama di pusat pusaran politik Jakarta.

Sementara di sisi lain, Ahok pun demikian. Ahok masih memiliki ceruk pemilih yang loyal di Jakarta. Jika keduanya digabung, potensinya untuk merebut Jakarta Satu cukup besar.

Selain itu, Ahok masih bisa diterima oleh Jokowi. Jadi Ahok bisa menjadi jembatan bagi Jokowi untuk tetap menjaga relasi baik dengan PDIP di satu sisi dan memberikan dukungan yang tertunda kepada Ganjar di sisi lain.

Jadi jika kandidat yang didukung Istana ternyata harus kalah, Jokowi dan Istana masih bisa menerimanya karena masih ada Ahok dan Ganjar di Jakarta, ketimbang harus menerima Anies.

Apalagi, raihan suara PDIP di tahun 2024 di Jakarta tidak memadai untuk mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.

Raihan 15 kursi DPRD memang tak cukup. PDIP memerlukan kawan koalisi untuk mendapatkan 7 kursi lagi. Partai tersisa hanya PKS. Itupun jika PKS bersedia mendukung Ahok.

Karena itu dibutuhkan sosok Ahok yang didukung oleh Jokowi, agar partai politik seperti PPP atau partai lainnya di barisan pemenang pemilu 2024 bisa menemani PDIP alias tidak takut mendukung Ganjar - Ahok untuk Jakarta Satu.

Kepercayaan Jokowi kepada Ahok akan menjadi kunci bagi PDIP dalam mendapatkan kawan berkoalisi, dengan asumsi PKS tidak sejalan dengan PDIP dan Ahok.

Nah, jika Ganjar bisa memenangkan posisi Jakarta satu, maka peluang Ganjar untuk bertahan sebagai capres potensial di tahun 2029 sangat besar.

Eksistensi Ganjar di ranah politik nasional akan terjaga selama lima tahun ke depan. Sorot media akan selalu didapat tanpa diminta.

Dan yang paling utama, Ganjar bisa mewujudkan ide-idenya di Jakarta, membuat Jakarta tetap sebagai pusat ekonomi dan bisnis setelah ibu kota pindah ke Kalimantan, sebelum dibawa ke ranah nasional.

Artinya, Ganjar akan meniti jalan layaknya Jokowi. Berpasangan dengan Ahok sebelum kembali ke ranah nasional. Lalu jika berhasil di laga 2025, Ganjar akan menitipkan Jakarta kepada Ahok layaknya Jokowi di tahun 2014.

Pun kesempatan terbaik bagi Ahok sebenarnya hanyalah sampai Jakarta satu. Karena untuk ke Istana, banyak kalkulasi politik yang harus dilakukan, baik oleh Ahok sendiri maupun oleh partai politik pendukung.

Namun secara teknis, Ganjar akan seperti Anies, yakni berperang dingin dengan Istana yang jaraknya tak jauh dari kantor Gubernur Jakarta. Menjaga harmoni dengan Istana, tapi tetap mampu berkreasi dengan berbagai kebijakan di level provinsi.

Ganjar bisa menjadi pioner berbagai inovasi kebijakan di Jakarta untuk membuat Istana atau Ibukota Negara Nusantara (IKN) tetap terlihat jauh tertinggal di belakang, tanpa harus berperang terbuka dengan punggawa Istana.

Dalam posisi itu, Ganjar semestinya bisa membuat Jakarta tetap bersinar layaknya kota New York di negeri Paman Sam, yang dikenal sebagai pusat bisnis dan keuangan, meskipun pusat pemerintahan berada di Washington DC.

Opsi ini adalah opsi yang paling masuk akal bagi Ganjar, jika memang ingin mempertahankan sinarnya selama lima tahun ke depan sebagai modal mumpuni untuk bertarung ulang dengan trah Jokowi di tahun 2029 nanti.

Artinya, opsi ini hanya berlaku jika Ganjar memang tetap ingin maju di tahun 2029. Jika tidak, tentu ceritanya akan lain lagi.

Memang tak mudah bagi Ganjar untuk bertempur di tahun 2029, mengingat cengkeraman kuasa Prabowo - Gibran sebagai incumbent dipastikan akan semakin kuat.

Namun dengan tetap menyala dan bersinar di Jakarta, tentunya Ganjar masih bisa terkoneksi secara langsung dengan masyarakat pemilih di seluruh Indonesia dan membangun kedekatan langsung dengan rakyat.

Karena cara terbaik dalam mengalahkan incumbent yang bergelimang kuasa adalah dengan cara membangun kedekatan sedekat-dekatnya dengan rakyat pemilih. Rakyat adalah pemegang mandat yang paling berhak menyingkirkan penguasa dari takhtanya.

Pun bagi PDIP, opsi menguasai Jakarta adalah jalan terbaik untuk menjadi oposisi yang bisa mengancam Jokowi-Prabowo-Gibran di Istana.

Apalagi, dengan waktu Pilkada serentak yang semakin mendekat, PDIP semestinya sudah mulai fokus pada penyiapan calon-calon kepala daerah, bersamaan dengan penyiapan Ganjar - Ahok di Jakarta.

Karena penguasaan kepala-kepala daerah akan sangat membantu PDIP dalam menguasai arena elektoral di tahun 2029 kelak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

Nasional
Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Nasional
Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Nasional
Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Nasional
 Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Nasional
Pertamina Patra Niaga Akan Tetap Salurkan Pertalite sesuai Penugasan Pemerintah

Pertamina Patra Niaga Akan Tetap Salurkan Pertalite sesuai Penugasan Pemerintah

Nasional
Menteri KKP Targetkan Tambak di Karawang Hasilkan 10.000 Ikan Nila Salin Per Tahun

Menteri KKP Targetkan Tambak di Karawang Hasilkan 10.000 Ikan Nila Salin Per Tahun

Nasional
KPK Percaya Diri Gugatan Praperadilan Karutan Sendiri Ditolak Hakim

KPK Percaya Diri Gugatan Praperadilan Karutan Sendiri Ditolak Hakim

Nasional
Soal Kasus Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Diminta Evaluasi Teknis OTT

Soal Kasus Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Diminta Evaluasi Teknis OTT

Nasional
Kaesang Didorong Maju Pilkada Bekasi, Jokowi: Tanyakan PSI, itu Urusan Partai

Kaesang Didorong Maju Pilkada Bekasi, Jokowi: Tanyakan PSI, itu Urusan Partai

Nasional
Mahfud Khawatir Korupsi Makin Banyak jika Kementerian Bertambah

Mahfud Khawatir Korupsi Makin Banyak jika Kementerian Bertambah

Nasional
Persiapan Operasional Haji 2024, 437 Petugas Diterbangkan ke Arab Saudi

Persiapan Operasional Haji 2024, 437 Petugas Diterbangkan ke Arab Saudi

Nasional
Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Nasional
Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Nasional
Menteri KP: Lahan 'Idle' 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Menteri KP: Lahan "Idle" 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com