Keberadaan beras ekonomis ini sebenarnya sangat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah dalam mempertahankan daya belinya setelah lebih kurang dua tahun dihadang pandemi.
Apa boleh buat, pemerintah justru terlambat dalam memberikan kepastian pasokan karena terlalu sibuk dengan urusan politik dan pemilu.
Lalu di saat harga mulai berhenti naik di November 2023, pemerintah memulai bansos berupa BLT El Nino dalam bentuk beras. Kebijakan ini memang sangat diperlukan untuk menstabilisasi daya beli kalangan menengah ke bawah.
Namun karena kondisi pasokan sangat terbatas, maka kebijakan tersebut justru mengalihkan cadangan di Bulog yang seharusnya bisa dipakai untuk mengguyur pasaran agar tekanan harga semakin melemah langsung ke orang per orang yang terdata ke dalam daftar penerima BLT beras.
Tak pelak, menjelang akhir tahun di saat momen konsumsi tinggi datang lagi, harga kembali mulai berfluktuasi.
Namun karena sebagian pasokan impor mulai masuk, Bulog mulai rajin melakukan operasi pasar terbuka di beberapa pasar utama, sehingga harga tidak terlalu liar.
Walhasil, pada akhir dan awal tahun, harga tidak melompat terlalu tinggi, meski tetap terbilang tetap tinggi karena harganya gagal ditekan ke bawah akibat pasokan yang pas-pasan.
Namun memasuki Januari 2024, di mana bulan paling krusial secara politik, karena di awal Februari ada momen pemilihan umum, justru pemerintah mengambil langkah berani melanjutkan BLT beras dan BLT cash, padahal belum ada data inflasi untuk Januari 2024 yang bisa dijadikan patokan.
Selain itu, kebijakan bansos berupa BLT dan sejenisnya memang tak biasa dilakukan di awal tahun. Selama ini, kebiasaan pemerintah dalam memberikan bansos berlangsung di bulan Maret atau April, setelah ada data inflasi untuk kurun waktu dua bulan, yakni Januari dan Februari di satu sisi dan karena mendekati momen Ramadhan pun Lebaran di sisi lain.
Tak pelak kebijakan yang tidak biasa tersebut diteriaki oleh pendukung paslon yang tidak didukung oleh presiden sebagai kebijakan gentong babi atau Pork Barell Politics, karena memanfaatkan anggaran negara untuk mencari simpati publik demi meningkatkan elektabilitas salah satu paslon. Pasalnya, momen pencairan bansos sangat berdekatan dengan waktu pencoblosan pilpres.
Di sisi lain, secara ekonomi, karena pasokan belum benar-benar seimbang dengan permintaan akibat pasokan dari impor tidak bisa "ujuk-ujuk" datang sekaligus, maka kebijakan BLT beras kembali menyedot cadangan beras di Bulog.
Dan lagi-lagi imbasnya cadangan pasokan untuk pasaran yang kekurangan pasokan ikut mengering.
Sementara itu, kebijakan cash transfer yang dirapel tiga bulan di akhir Januari dan awal Februari juga berpotensi dipakai oleh para penerimanya untuk mengamankan stok beras pribadi (keluarga) dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar, sehingga semakin menguras pasokan di pasaran dan mengerek harga setinggi yang kita saksikan per hari ini.
Memang tiga hari menjelang hari pencoblosan semua jenis bansos berhenti. Namun kebijakan sudah berjalan masif sebelumnya.
Apalagi, beberapa hari setelah itu, pemerintah membuka kembali keran kebijakan bansos berupa BLT beras, yang justru ditetapkan tanpa mempertimbangkan kondisi keseimbangan pasokan dan permintaan yang ada.