Dia juga menyampaikan, cerita memungkinkan orang berbagi pengalaman dan pengetahuan, dan untuk membangun hubungan berdasarkan empati dan pemahaman. Itu artinya, ada keterikatan emosional yang dibangun di sana selain pengetahuan.
Inilah kemudian, dari obrolan warung kopi bersama salah seorang teman yang banyak berkutat di bidang riset, sebut saja Bagas, menyebut pilar emosional inilah yang banyak digarap dalam strategi komunikasi para paslon capres dan cawapres.
Lihat bagaimana beredar viral konten tangis emak-emak di Tiktok melihat Prabowo diserang bertubi-tubi oleh lawan debat dalam Debat Capres 2024 (7/1/2024).
Saat itu Ganjar memberikan skor 5 dari 10 dan Anies memberikan skor 11 dari 100 kepada Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Data Drone Emprit yang mencoba memotret sentimen media sosial X pasca-Debat Capres tersebut justru menunjukkan video emak-emak yang menangisi Prabowo menambah sentimen positif kepada Prabowo.
Jangan lupa, data Exit Poll Litbang Kompas menyebut, pemilih terbesar yang datang dari latar belakang pekerjaan Ibu Rumah Tangga banyak memilih pasangan Prabowo-Gibran (53,9 persen).
Bisa jadi, cerita emak-emak yang ramai-ramai menangisi Prabowo ini mampu mengumpulkan nilai elektoral yang lebih tinggi daripada perdebatan kaum terpelajar terkait sah atau tidak para calon membuka data keamanan dalam debat capres.
Psikologis pemilih kita nampaknya agak sedikit berbeda jika membandingkan debat capres Amerika Serikat. Masyarakat kita sepertinya tidak terlalu bersimpati pada pihak yang agresif menyerang, meski dilandasi dengan argumen kuat, data lengkap dan gaya intelek.
Bisa jadi konten-konten semacam ini tidak disukai kalangan intelektual yang menilai hal semacam ini sebagai gaya komunikasi tidak edukatif dan “receh” di masa Pemilu yang idealnya memaparkan program atau gagasan besar capres dan cawapres.
Baca juga: Deddy Corbuzier Ngakak Dengar Cerita Kucing Prabowo Kencingi Tas Mahal Tamu
Relasi benci tapi suka inilah yang juga tergambar dalam gimmick lagu “PAN, PAN, PAN” atau “Gas Ayo Gas”. Secara kognitif mungkin sebagian orang akan berpikir: "lagu apa sih nie!", namun secara bawah sadar hafal lirik atau bahkan diam-diam jempol kaki ikut bergoyang.
Pun demikian ketika muncul film dokumenter menghebohkan “Dirty Vote” di masa tenang kampanye.