Salin Artikel

Mayor Teddy, Bobby Kertanegara, dan Kemenangan Prabowo-Gibran

“Kami tidak mengira angka dari quick count setinggi ini. Saya yakin ini angka-angka yang tinggi karena anak muda semua,” ujar Gibran dalam pidatonya.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda yang merupakan pendukung sangat kunci bagi saya,” ungkap Prabowo dalam tambahan pidatonya setelah Gibran, sebelum menutup acara.

Hal ini sejalan dengan data Exit Poll Litbang Kompas yang menyebut Gen Z (di bawah 26 tahun) menjadi penyumbang suara terbesar bagi pasangan Prabowo-Gibran sebesar 65,9 persen, diikuti pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (16,7 persen) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (9,6 persen).

Data sama dari Exit Poll Litbang Kompas jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan pemilih juga menunjukkan, pasangan Prabowo-Gibran menguasai pemilih dengan latar belakang pendidikan dasar (SD) sebesar 55,6 persen dan pendidikan menengah (SMP dan SMA) sebesar 57,4 persen.

“Perlawanan” berarti hanya terjadi di pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi di mana Prabowo-Gibran meraih 41,7 persen bersaing dengan Anies-Muhaimin di angka 34,3 persen dan Ganjar-Mahfud 12,6 persen.

Toto Suryaningtyas, Peneliti Litbang Kompas menjelaskan, pemilih Prabowo-Gibran dilihat dari rentang usia, semakin tua maka komposisi jumlah pemilihnya semakin sedikit.

Sebaliknya, pasangan lain Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud semakin tua pemilih komposisi pemilih kedua pasangan ini semakin besar.

Dalam hal inilah kemudian konten-konten “Mayor Teddy” dan “Bobby Kertanegara” mendapatkan konteksnya di kalangan GenZ dan juga pemilih dengan latar belakang pendidikan dasar dan menengah.

Story Telling “Receh”

Yohan Wahyu, Peneliti Litbang Kompas saat membedah hasil Exit Poll Kompas menyampaikan ada korelasi antara Gen Z yang menghabiskan waktu hampir 6 jam di media sosial dengan berbagai gimmick dan narasi yang dikomunikasikan.

Walter Benjamin, filsuf Jerman dalam esai "The Storyteller: Reflections on the Work of Nikolai Leskov" (1936) meyakini bahwa story telling adalah cara efektif untuk membangun komunitas (termasuk pemilih di era pemilu) dan rasa saling percaya.

Dia juga menyampaikan, cerita memungkinkan orang berbagi pengalaman dan pengetahuan, dan untuk membangun hubungan berdasarkan empati dan pemahaman. Itu artinya, ada keterikatan emosional yang dibangun di sana selain pengetahuan.

Inilah kemudian, dari obrolan warung kopi bersama salah seorang teman yang banyak berkutat di bidang riset, sebut saja Bagas, menyebut pilar emosional inilah yang banyak digarap dalam strategi komunikasi para paslon capres dan cawapres.

Lihat bagaimana beredar viral konten tangis emak-emak di Tiktok melihat Prabowo diserang bertubi-tubi oleh lawan debat dalam Debat Capres 2024 (7/1/2024).

Saat itu Ganjar memberikan skor 5 dari 10 dan Anies memberikan skor 11 dari 100 kepada Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Data Drone Emprit yang mencoba memotret sentimen media sosial X pasca-Debat Capres tersebut justru menunjukkan video emak-emak yang menangisi Prabowo menambah sentimen positif kepada Prabowo.

Jangan lupa, data Exit Poll Litbang Kompas menyebut, pemilih terbesar yang datang dari latar belakang pekerjaan Ibu Rumah Tangga banyak memilih pasangan Prabowo-Gibran (53,9 persen).

Bisa jadi, cerita emak-emak yang ramai-ramai menangisi Prabowo ini mampu mengumpulkan nilai elektoral yang lebih tinggi daripada perdebatan kaum terpelajar terkait sah atau tidak para calon membuka data keamanan dalam debat capres.

Psikologis pemilih kita nampaknya agak sedikit berbeda jika membandingkan debat capres Amerika Serikat. Masyarakat kita sepertinya tidak terlalu bersimpati pada pihak yang agresif menyerang, meski dilandasi dengan argumen kuat, data lengkap dan gaya intelek.

Bisa jadi konten-konten semacam ini tidak disukai kalangan intelektual yang menilai hal semacam ini sebagai gaya komunikasi tidak edukatif dan “receh” di masa Pemilu yang idealnya memaparkan program atau gagasan besar capres dan cawapres.

Emak-emak "Ter-Teddy-teddy"

Relasi benci tapi suka inilah yang juga tergambar dalam gimmick lagu “PAN, PAN, PAN” atau “Gas Ayo Gas”. Secara kognitif mungkin sebagian orang akan berpikir: "lagu apa sih nie!", namun secara bawah sadar hafal lirik atau bahkan diam-diam jempol kaki ikut bergoyang.

Pun demikian ketika muncul film dokumenter menghebohkan “Dirty Vote” di masa tenang kampanye.

Meski berbagai pihak memberikan kredit positif film ini sebagai bentuk panggilan moral merespons situasi yang terjadi terhadap hukum negeri ini, nampaknya belum membuat apa yang disebut “silent majority” oleh banyak pengamat, mengalihkan suara ke pasangan 01 atau 03.

Sebaliknya, foto dan video “heroik” Mayor Teddy, ajudan Prabowo, yang nampak gagah menggendong seorang wanita yang terlihat pingsan di panggung kampanye terakhir Prabowo (10/2/2024) banyak tersebar di berbagai grup WA maupun media sosial.

Bahkan, pengamat politik M. Qodary dalam podcast menyebut Mayor Teddy sebagai "Factor X" atau "Factor T" yang mampu menarik, istilah anak Jaksel, "circle" emak-emak menjadi “ter-teddy-teddy”.

Jangan juga dilupakan Bobby Kertanegara, kucing kesayangan Prabowo. Story telling Bobby nampaknya juga berhasil membangun "circle" tersendiri yang membuat para pemilih memiliki koneksi dan merasa dunia mereka "relate" dengan paslon 02 .

Konten "My Teddy" atau "My Ted" dan kucing gemoy Bobby Kertanegara nampaknya secara narasi berhasil efektif mencuri panggung dari kejutan suara ketokohan (prominence) yang muncul di saat akhir seperti dari Ahok, Butet Kertaraharja, Connie Bakrie, atau bahkan "Dirty Vote".

Story telling semacam ini diyakini lebih efektif dalam membangun ikatan "circle" dan konteks daripada sekadar menempelkan gimmick-gimmick seperti “slepet”, “wakanda no more”, atau “sat-set”.

Pertanyaan menggelitiknya: apakah semua jalinan story telling dari tangisan emak-emak, My Ted dan kucing gemoy Bobby merupakan konten yang menyebar secara organik dan spontan, atau sesuatu yang by design terencana?

Jika memang kemudian story telling ini direncanakan dan dieksekusi secara matang, maka hal ini menjadi strategi komunikasi brilian nan cemerlang oleh tim yang ada di belakangnya.

Story telling semacam ini menjadi strategi yang keluar dari pakem "rilis" di mana influencer atau buzzer mendapatkan pesan sponsor yang sama sehingga bermunculan narasi mirip-mirip atau bahkan sama antara akun satu dan lainnya di media sosial.

Ironinya, Walter Benjamin dalam esainya yang terkenal itu juga secara tegas menyampaikan story telling tengah mengalami kepunahan karena sisi epik dari kebenaran, kebijaksanaan secara bertahap memudar.

Dulu mendongeng, bak epik pewayangan Mahabarata atau kisah Cinderella menjadi story telling yang terjalin erat dalam jalinan budaya manusia dan menjadi sarana menyampaikan kebijaksanaan, pengalaman, dan pelajaran moral atau nilai hidup berharga.

Di era banjirnya informasi, di mana orang sering kali mencari konten berukuran kecil, apakah konten-konten seperti Mayor Teddy dan Bobby Kertanegara mampu menyisakan sedikit ruang untuk refleksi dan kedalaman? Wallahualam…

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/21/15401651/mayor-teddy-bobby-kertanegara-dan-kemenangan-prabowo-gibran

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke